Biji kakao merupakan salah satu komoditas unggul di Indonesia. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat produksi biji kakao di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Pada 2022, volume produksinya mencapai 667.296 ton, di posisi ketiga global setelah Pantai Gading dan Ghana.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah turut menyebutkan bahwa Indonesia adalah produsen produk olahan setengah jadi kakao terbesar keempat di dunia.
“Produk utama yang diekspor berupa lemak kakao (cocoa butter), disusul dengan bubuk kakao (cocoa powder), pasta kakao (cocoa liquor), cokelat (chocolate), dan biji kakao (cocoa bean),” ungkapnya saat dihubungi GoodStats, Rabu (4/12/2024).
Biji kakao yang sudah dikeringkan dan difermentasi tidak hanya dijadikan sebagai bahan baku coklat, melainkan juga dalam keperluan kosmetik, perawatan tubuh, dan juga bahan memasak. Untuk itu, tidak heran jika komoditas satu ini banyak dicari di dunia. Indonesia sebagai produsen kakao terbesar di Asia tentu memegang posisi strategis sebagai pemasok kakao dunia. Kendati demikian, nilai ekspor kakao cenderung fluktuatif, bahkan menurun dalam beberapa periode.
Kinerja Ekspor Kakao Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Kakao Indonesia 2023 menyebutkan bahwa ekspor kakao Indonesia tercatat fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja di 2019, volume ekspor mencapai 358,48 ribu ton yang nilainya sebesar US$1.198,73 juta. Volumenya meningkat di 2021, meski tidak dibarengi dengan kenaikan nilai ekspor akibat turunnya harga kakao dunia.
Di tahun 2023 lalu, volume ekspor beserta nilainya kembali turun. Indonesia hanya mengekspor 339,99 ribu ton kakao dengan nilai US$1.197,7 juta.
Adapun ekspor kakao Indonesia telah menjangkau lima benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika, Eropa, hingga Oseania, dengan Asia sebagai pangsa pasar utamanya.
India menjadi negara utama tujuan ekspor Indonesia, volumenya mencapai 61,92 ribu ton atau setara dengan 18,21% dari total ekspor di tahun 2023. Nilai ekspornya pun mencapai US$210,04 juta. Mengekor di urutan kedua adalah Amerika Serikat dengan 43,40 ribu ton dan nilai sebesar US$173,92 juta (12,77%) dan China dengan 338,98 ribu ton (11,73%).
Secara keseluruhan, kesepuluh negara di atas mendominasi 74,75% dari total volume ekspor kakao Indonesia di 2023.
“Peluang ekspor Indonesia produk kakao cukup besar, terutama di negara-negara Asia, Amerika, dan Eropa,” tegas Soetanto.
Impor Kakao Indonesia
Sebagai salah satu penghasil kakao terbesar di dunia, Indonesia masih harus melakukan impor guna memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk menalangi produksi kakao lokal yang tidak mencukupi. Soetanto turut menambahkan bahwa bahan baku biji kakao lokal kadang tidak mencukupi untuk diolah oleh industri dalam negeri, sehingga membutuhkan dorongan impor dari negara-negara luar khususnya kawasan Afrika.
Volume dan nilai impor kakao Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Di 2019, volume impor kakao Indonesia mencapai 309,74 ribu ton, yang nilainya mencapai US$775,99 juta. Meski sempat menurun di 2020, volume dan nilainya kembali naik di 2021.
Pada 2023, volume dan nilai impor kakao Indonesia naik, mencapai 340,45 ribu ton dan nilainya sebesar US$979,64 juta.
Adapun impor kakao Indonesia utamanya berasal dari Ekuador, dengan volume impor mencapai 74,75 ribu ton, setara dengan 21,96% dari volume total, disusul Pantai Gading (16,24%) dan Nigeria (12,29%).
Sulawesi Dominasi Produksi Kakao Lokal
Provinsi di Sulawesi mendominasi produksi kakao lokal di 2023. Menurut BPS, perkebunan kakao tersebar di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Jakarta. Provinsi di Sulawesi mengisi top 3 penghasil kakao terbesar di Indonesia.
Sulawesi Tengah memiliki luas area terbesar di Indonesia, mencapai 267,25 ribu hektare atau sekitar 19,18% dari total luas lahan kakao nasional yang sebesar 1,39 juta hektare. Adapun produksinya juga jadi yang terbesar, mencapai 125,91 ribu ton. Sulawesi Tenggara menyusul di urutan kedua dengan luas perkebunan sebesar 217,90 hektare (15,64%), diikuti Sulawesi Selatan dengan 176,22 ribu hektare (12,65%).
Guna meningkatkan produktivitas tanaman kakao dalam negeri, pemerintah berupaya meningkatkan intensifikasi kakao dalam jangka pendek dan melakukan rehabilitasi. Ke depannya, pemerintah akan melakukan peremajaan, replanting, serta ekstensifikasi dengan memanfaatkan areal baru yang belum digunakan sebelumnya. Meski begitu, dampak dari upaya pemerintah ini memang belum begitu terlihat.
“Program pemerintah sekarang sudah menuju ke arah peningkatan produksi nasional, tetapi jumlahnya sangat kecil/tidak memadai, sehingga belum terlihat dampak positifnya,” tutur Soetanto.
Dampak EUDR Bagi Ekspor Kakao
Mulai 1 Januari 2026 mendatang, setiap produk yang masuk ke Uni Eropa tidak boleh berasal dari lahan bekas deforestasi sesuai dengan Regulasi anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Langkah ini diambil untuk mengatasi tingkat deforestasi global, di mana produk-produk yang berisiko terkait dengan deforestasi, seperti kakao, harus ditelusuri asal-usulnya untuk memastikan bahwa proses produksi tidak berhubungan dengan deforestasi atau degradasi.
Akibatnya, setiap negara kini harus memastikan bahwa aktivitas rantai pasok mereka tidak terkait melanggar aturan deforestasi yang ditetapkan. Hal ini tentu menuntut adanya perubahan signifikan dari para pelaku usaha dalam praktik bisnisnya. Indonesia sempat menyuarakan keberatan atas kebijakan ini yang diduga akan menurunkan ekspor komoditas ke pasar Eropa. Beberapa komoditas kakao seperti biji kakao (HS 1801 dan HS 1806) berpotensi terdampak akibat kebijakan ini.
Meski begitu, apabila pemerintah dapat memenuhi syarat kebijakan EUDR, maka Indonesia akan dapat menembus pasar Uni Eropa sekaligus membenahi sistem produksi komoditas dalam negeri. Kolaborasi dari berbagai pihak diperlukan untuk memastikan ekspor kakao dan komoditas unggulan lain tetap berjalan.
Baca Juga: 5 Negara Produsen Kakao Terbesar di Dunia
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor