PayLater di Indonesia, Kawan atau Lawan?

Penggunaan PayLater di Indonesia sudah cukup marak. Lantas, apakah penggunaannya ini menghasilkan dampak yang positif atau malah negatif?

PayLater di Indonesia, Kawan atau Lawan? Ilustrasi Orang Membayar di E-Commerce | tirachardz/Freepik

Sistem utang jaman modern, buy now, pay later, kini telah menjadi tren di berbagai e-commerce di tanah air. Banyak pengguna, terutama anak muda, yang gemar memanfaatkan fitur PayLater ini. Fitur satu ini memperbolehkan konsumen membeli suatu barang dan membayarkannya di kemudian hari ketika sudah jatuh tempo. Banyak produk yang bisa dibeli dengan menggunakan sistem PayLater. Tidak hanya untuk produk mahal, fitur ini juga tersedia untuk produk-produk murah.

Mayoritas Pengguna PayLater Membeli Produk Fashion
Mayoritas Pengguna PayLater Membeli Produk Fashion

Melansir survei Jakpat, produk fashion berupa tas, pakaian, sepatu, dan lain-lain, merupakan produk yang paling banyak dibeli dengan menggunakan PayLater, dengan total 43,5%. Adapun produk alat elektronik menyusul di peringkat kedua dengan perolehan 41,8%. Produk handphine dan aksesorisnya ada di posisi ketiga dengan 33,1%, disusul dengan produk perawatan dan kecantikan, makanan dan minuman, perlengkapan rumah, hingga aksesoris.

Sementara itu, mayoritas pengguna layanan PayLater mengungkapkan alasan penggunaannya adalah karena kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Promo yang menggiurkan juga menjadi alasan orang-orang tergoda membeli barang menggunakan PayLater, padahal mungkin sebenarnya tidak butuh-butuh amat.

Kebutuhan Mendesak Jadi Alasan Penggunaan PayLater
Kebutuhan Mendesak Jadi Alasan PayLater Banyak Digunakan

Penggunaan PayLater sempat menimbulkan pro-kontra di antara masyarakat. Banyak user mengaku terbantu dengan adanya fitur ini dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Namun, tidak sedikit juga mengungkapkan bahwa gaya hidupnya menjadi lebih boros dan konsumtif setelah kenal dengan sistem PayLater. Kemudahan penggunaan fitur PayLater membuat banyak anak muda malah kebablasan hingga terjebak dalam utang yang jumlahnya tidak sedikit.

Peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), Nailul Huda mengungkapkan banyak anak muda yang tidak sadar akan bahayanya potensi fitur PayLater apabila tidak digunakan dengan bijak.

"Karena sistem PayLater ini mudah, bisa connect secara digital, generasi muda yang lebih efektif banyak yang mengajukan, padahal belum punya pendapatan," ungkapnya melalui BBC

Menurutnya, fitur PayLater ini sebaiknya dibuat eksklusif pada golongan tertentu saja. Setiap e-commerce lebih baik memperhatikan lagi karakteristik pengguna sebelum memutuskan untuk memberi pinjaman.

"Dulu kan ada layanan finansial yang menyediakan kredit, tapi untuk menyutujuinya mereka sampai harus survei dulu ke rumah," jelas Nairul. "Di e-commerce misalnya, dilihat bahwa transaksinya bagus nih, bisa beli banyak barang. Lalu itu dijadikan landasan untuk skor kredit."

Harapannya, para penyedia layanan PayLater ini bisa lebih berhati-hati dalam tahap seleksi ketika memilih segmen pengguna yang berhak menggunakan fitur ini. Hal ini bertujuan untuk meminimasi risiko terjerat utang di usia muda, yang membuat banyak anak muda malah tidak mampu membangun masa depannya sendiri.

Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Tren Social Commerce Makin Populer, Masyarakat Kini Hobi Belanja di Media Sosial

Pendapatan dari social commerce akan mencapai 22% dari seluruh transaksi e-commerce pada tahun 2028. Bagaimana tren berbelanja di media sosial bisa populer?

Shopee, Platform Pilihan UMKM untuk Jualan Online

Berdasarkan riset INDEF, Shopee merajai daftar platform yang sering digunakan pelaku UMKM untuk berjualan online dengan persentase sebesar 36,22%.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook