Mengenal Aturan Presidential dan Parliamentary Threshold di Pemilu RI

Besaran presidential dan parliamentary threshold telah mengalami beberapa kali perubahan sejak diterapkan pertama kali di Pilpres 2004 dan Pileg 2009.

Mengenal Aturan Presidential dan Parliamentary Threshold di Pemilu RI Deretan bendera parpol peserta Pemilu 2024 | Baritopost

Dalam sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, dikenal istilah presidential threshold dan parliamentary treshold.

Dikutip dari laman hukumonline.com pada Senin (19/2), presidential threshold adalah “ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.”

Istilah presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden memang tidak disebut secara gamblang dalam peraturan perundang-undangan kepemiluan di Indonesia

Namun, secara tersirat hal ini terlegitimasi lewat Pasal 222 Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu.

Pada pasal yang mengatur tata cara penetapan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tersebut dijelaskan bahwa:

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Mengutip dari laman yang sama, yang dimaksud dengan parliamentary threshold adalah “ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.”

Parliamentary threshold, atau ambang batas parlemen di sistem pemilu Indonesia diatur secara jelas pada Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017, yang berbunyi:

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”

Skema presidential threshold di Indonesia sudah diterapkan sejak Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, yang merupakan pilpres pertama pasca reformasi, sedangkan parliamentary threshold baru diterapkan di Pemilu Legislatif (Pileg) 2009.

Pada Pilpres 2004, presidential threshold kala itu ditetapkan sekurang-kurangnya 15% untuk perolehan kursi di DPR, atau 20% untuk perolehan suara di pileg sebelumnya bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang akan mengajukan pasangan capres-cawapres.

Hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Menjelang Pilpres 2009, UU 23/2003 dicabut lewat UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang juga mengubah besaran ambang batas pencalonan presiden.

Meski pada akhirnya UU 42/2008 juga dicabut lewat UU 7/2017, besaran presidential threshold tetap dipertahankan di angka 20% untuk perolehan kursi di DPR, atau 25% untuk perolehan suara di pileg, dan masih diterapkan hingga Pilpres 2024.

Yang menarik, bersamaan dengan mulai diterapkannya sistem pemilu serentak di 2019, maka presidential threshold sejak saat itu mengacu pada perolehan kursi parpol di DPR periode berjalan, atau dari hasil pileg 5 tahun sebelumnya.

Adapun pada Pilpres 2014, 2009, dan 2004, presidential threshold mengacu pada perolehan kursi parpol di DPR periode berikutnya, atau dari hasil pileg di tahun yang sama, yang digelar beberapa bulan sebelum pilpres tersebut.

Sementara itu, perubahan yang cukup dinamis terjadi pada besaran parliamentary threshold. Saat pertama kali diterapkan di Pileg 2009, pada Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, ditetapkan angkanya sebesar 2,5%.

Besaran ini kemudian dinaikkan menjadi 3,5% di Pileg 2014, merujuk Pasal 208 UU 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Di Pileg 2019, angkanya kembali naik menjadi 4%, sebagaimana diatur pada Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017, yang juga diimplementasikan pada Pileg 2024.

Penerapan presidential threshold di Pilpres 2024

Seperti diketahui, ada 3 pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2024 yakni, pasangan calon (paslon) no. urut 1 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, paslon no. urut 2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming, dan paslon no. urut 3 Ganjar Pranowo – Mahfud MD.

Paslon no. urut 1 Anies – Muhaimin diusung oleh koalisi bentukan 3 parpol yang memperoleh kursi di parlemen/DPR, yakni Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta 1 parpol pendatang baru di Pemilu 2024, Partai Ummat.

Partai Nasdem, PKB, dan PKS total memperoleh 29% atau 167 kursi di DPR RI periode 2019-2024, dengan total suara yang diperoleh ketiga parpol tersebut pada Pileg 2019 sebesar 26,95%.

Sementara di koalisi pengusung paslon no. urut 2 Prabowo – Gibran, ada 4 parpol yang memperoleh kursi DPR, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Selain keempat parpol tersebut, ada juga 4 parpol non-parlemen yang masuk ke koalisi pengusung paslon no. urut 2, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesi (Gelora), dan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda).

Secara kumulatif, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN menguasai 45,4% atau 261 kursi di parlemen. Sementara total perolehan suara parpol-parpol di koalisi ini pada Pileg 2019 lalu sebesar 42,67%.

Terakhir, koalisi pengusung paslon no. urut 3 Ganjar – Mahfud terdiri atas 2 parpol yang memperoleh kursi di parlemen, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta 2 parpol di luar parlemen yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

PDIP dan PPP total memiliki 25,6% atau 147 perolehan kursi di DPR. Ditambah Perindo dan Partai Hanura, keempat parpol di koalisi pengusung Ganjar – Mahfud total memperoleh 28,06% suara di Pileg 2019 lalu.

Sementara itu, ada 2 parpol yang baru berkontestasi di Pemilu 2024 dan tidak menyatakan bergabung ke koalisi pengusung capres-cawapres, yakni Partai Buruh dan Partai Kebangkitan Nasional (PKN).

Terdapat pula 2 parpol peserta Pemilu 2019 yang tidak diloloskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta di Pemilu 2024 yakni Partai Berkarya dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).

Sebagai informasi, keduanya tidak memenuhi parliamentary threshold pada Pileg 2019 lalu.

Presidential Threshold Konsisten Digugat, Konsisten Ditolak

Tercatat sudah 31 kali, Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur terkait syarat ambang batas pencalonan presiden digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga Agustus 2023, seperti dilansir kompas.id. Dari jumlah tersebut, tak pernah sekali pun MK mengabulkan permohonan yang diajukan.

Gugatan dilayangkan oleh berbagai kalangan maupun institusi mulai dari koalisi masyarakat sipil, parpol, hingga lembaga legislatif DPD RI.

Alasan pengajuannya sebagian besar bernada serupa: bahwa skema presidential threshold dinilai diskriminatif, mendegradasi esensi pemilu, dan tentu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau inkonstitusional.

Di sisi lain, alasan penolakan MK dalam amar putusannya juga hampir selalu mengarah pada 2 poin: bahwa pemohon tidak memiliki legal standing, atau, persoalan ambang batas pencalonan presiden adalah open legal policy, yang merupakan domain dari pembentuk UU alias DPR RI.

Salah satu yang terbaru, permohonan uji materi atau judicial review diajukan oleh Partai Buruh, yang menilai muatan dalam pasal tersebut diskriminatif. Permohonan ini terdaftar pada nomor perkara 80/PUU-XXI/2023.

Sidang perdana perkara gugatan digelar pada 23 Agustus 2023. Hasilnya, pada 14 September 2023 MK menyatakan menolak permohonan uji materi yang diajukan Partai Buruh dengan alasan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, seperti dilansir cnnindonesia.com.

Dengan putusan tersebut, berarti untuk ke-31 kalinya pula, gugatan terhadap pasal yang sama berujung kandas.

Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Survei GoodStats: Benarkah Kesadaran Masyarakat Akan Isu Sampah Masih Rendah?

Survei GoodStats mengungkapkan bahwa 48,9% responden tercatat selalu buang sampah di tempatnya, 67,6% responden juga sudah inisiatif mengelola sampah mandiri.

Dukungan Presiden di Battle Ground Pilkada Jawa Tengah

Bagaimana elektabilitas kedua paslon di Jawa Tengah hingga membutuhkan dorongan besar Presiden RI?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook