Bunuh diri menjadi persoalan serius bagi seluruh masyarakat dunia. Maka dari itu, Badan organisasi kesehatan dunia WHO pada 2003 bersama dengan International Association for Suicide Prevention (IASP) memperingati World Suicide Prevention Day atau Hari Pencegahan Bunuh Diri setiap tanggal 10 September. Sejak saat itu, bulan September juga diperingati sebagai bulan pencegahan bunuh diri.
WHO menyatakan bahwa depresi mengisi peringkat 4 sebagai penyakit mematikan di dunia, dan diprediksikan akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama di dunia. Pada 2019 sekitar 800.000 orang per tahun dilaporkan meninggal akibat bunuh diri.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui siaran pers mengatakan, perilaku bunuh diri (ide, rencana, dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa lainnya, seperti depresi. Masalah depresi yang dialami seseorang tentu akan mengubah berbagai hal, mulai dari gangguan pola makan, perilaku sosial, hingga jadwal tidur yang tidak teratur.
Pada stadium depresi yang berat, tidak jarang seseorang individu dapat menjadi frustasi hingga berfikir untuk menyakiti diri hingga bunuh diri. Kondisi yang memprihatinkan ini dibuktikan dalam data WHO yang mengatakan bahwa angka bunuh diri akibat depresi bisa mencapai angka sekitar satu juta pertahun di seluruh dunia.
Tingginya kasus bunuh diri akibat depresi banyak terjadi di seluruh dunia, salah satunya adalah Jepang. Mengutip data World Population Review, rasio bunuh diri di Jepang masuk dalam peringkat 25 tertinggi di dunia.
Meski memiliki tingkat depresi dan bunuh diri yang tinggi, terdapat studi yang menyatakan bahwa orang Jepang dinilai “panjang umur” dibandingkan negara-negara di dunia. Studi World Bank pada 2020 menyebut, tingkat harapan hidup masyarakat Jepang berada di peringkat pertama, dengan perkiraan usia mencapai 84,52 tahun.
Lalu mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Bunuh diri masih jadi persoalan serius di Jepang
Melihat dalam data World Population Review pada 2019, Jepang memang tidak masuk dalam 10 negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi. Namun, persoalan bunuh diri masih cenderung tinggi dan masih jadi persoalan serius.
Rasio bunuh diri di Lesotho, Afrika Selatan menjadi yang tertinggi di dunia pada 2019. Berdasarkan data World Population Review, rasio bunuh diri per 100 ribu penduduk di Lesotho mencapai 72.4, artinya ada sekitar 72 orang yang melakukan bunuh diri setiap 100 ribu penduduk di sana.
Alasan utama yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri tersebut dipengaruhi oleh kemiskinan ekstrem. Global Burden of Disease juga mengatakan bahwa banyak masyarakat Lesotho mengalami tingkat depresi tertinggi di dunia pada 2017.
Selain Lesotho, terdapat beberapa negara yang memiliki rasio bunuh diri tertinggi, yakni Guyana dengan 40.3 poin. Lalu kemudian disusul oleh Eswatini di Afrika (29.4), Korea Selatan (28.6), dan Kiribati di Samudra Pasifik (28.3).
Meski tidak masuk dalam daftar 10 tertinggi, hingga kini persoalan bunuh diri masih menjadi perhatian serius di Jepang. World Population Review, mengatakan bahwa bunuh diri masih jadi penyebab utama kematian di pada pria (usia 20-44 tahun) dan wanita (usia 15-34 tahun) di Jepang. Guna mengatasi masalah tersebut, pemerintah Jepang kini telah aktif melakukan intervensi untuk mengurangi resiko bunuh diri di kalangan populasi rentan.
Pria Jepang dinilai dua kali lebih berpotensi untuk melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Penyebabnya dipicu dari kasus perceraian, kehilangan pekerjaan, hingga tidak bisa menghidupi keluarga. Penyebab lain juga disebabkan oleh pelecehan seksual yang marak terjadi serta kecemasan akan masa depan. Terdapat ratusan orang setiap tahunnya berkunjung ke Hutan Aokigahara, di kaki Gunung Fuji untuk mengakhiri hidup mereka.
Namun, berbalik dalam survei tersebut, data World Bank menyatakan angka harapan hidup di Jepang sangat tinggi.
Angka harapan hidup di Jepang cenderung tinggi
Survei yang dilakukan oleh World Bank yang menyebut, Jepang masuk dalam peringkat pertama sebagai negara dengan angka harapan hidup tertinggi, yakni mencapai 84,52 tahun.
Hal tersebut tentu tidak lepas dari beberapa faktor. Masyarakat Jepang dikenal memiliki gaya hidup yang sehat sejak kecil. WHO mengatakan sebanyak 98 persen anak-anak di Jepang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda. Terkait pola gizi, salah satu hal yang juga diperhatikan oleh masyarakat jepang adalah mengukur asupan protein. Nutrisi dari makanan inilah yang mempengaruhi perpanjangan usia orang Jepang.
Angka harapan hidup di Jepang juga dipengaruhi dengan kualitas fasilitas medis dan jaminan kesehatan bagi seluruh warganya yang ditanggung oleh negara. Jepang juga memiliki sistem untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin setahun sekali untuk mendeteksi penyakit atau kelainan lebih dini.
Dapat disimpulkan bahwa angka harapan hidup dan usia orang Jepang cenderung tinggi karena berkat kemajuan sistem medis dan asupan gizi mereka. Namun, Jepang masih cenderung tertinggal dalam hal kesehatan mental karena ketidakleluasaan dalam bersosial akibat beban kerja yang padat.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya