Biaya hidup yang semakin mahal merupakan salah satu dampak dari inflasi. Menurut survei Deloitte mengenai pola perilaku gen Z dan milenial 2022, sebagian besar responden mengaku prihatin dengan keadaan dunia saat ini. Kelompok usia gen Z dan Milenial dilaporkan khawatir akan biaya hidup yang mahal, isu perubahan iklim, hingga konflik geopolitik.
Mayoritas dari mereka bertekad untuk mendorong perubahan sosial yang positif, seiring dengan menurunnya angka penyebaran Covid-19 secara global. Akan tetapi, mereka juga mengaku masih kesulitan dalam menghadapi permasalahan hidup sehari-hari, seperti problematika keuangan serta kurangnya keseimbangan waktu dan pekerjaan (work-life balance) yang menyebabkan tingginya tingkat stres.
Sementara, masalah gaji, kelelahan, dan kesehatan mental merupakan alasan utama gen Z dan milenial meninggalkan pekerjaan mereka selama dua tahun terakhir. Berdasarkan laporan Deloitte, sebagian besar dari mereka lebih memprioritaskan lingkungan kerja yang nyaman, keseimbangan waktu yang baik, dan peluang pengembangan diri dalam mencari pekerjaan.
"Laporan ini menunjukkan bahwa banyak dari gen Z dan milenial menilai kembali apa saja yang paling penting bagi mereka di tengah ketidakpastian global saat ini. Tempat kerja dituntut untuk memberdayakan para pekerjanya, melakukan perubahan berkelanjutan, termasuk memberikan kompensasi yang lebih tinggi, tindakan untuk mengatasi perubahan iklim, hingga fokus terhadap kesejahteraan," jelas Michele Parmelee selaku Deputi CEO Deloitte Global.
Adapun, survei tersebut melibatkan sebanyak 23.220 responden yang berasal dari total 46 negara, termasuk Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa Timur, Eropa Barat, Timur Tengah, Afrika, dan Asia-Pasifik. Rinciannya, sebanyak 14.808 responden berada di kelompok usia gen Z dan 8.412 responden milenial.
Gen Z dan milenial sebut keuangan jadi faktor utama penyebab stres
Menurut laporan, sekitar seperempat gen Z (25%) dan milenial (21%) mengatakan, mereka kesulitan untuk mengatur keuangan karena biaya hidup yang mahal. Hal tersebut juga berdampak pada kemampuan mereka untuk menabung.
Bahkan, sekitar tiga dari sepuluh responden merasa tidak yakin mereka akan pensiun dengan keadaan finansial yang stabil. Lalu, sekitar tiga perempat responden meyakini bahwa ketimpangan sosial dan jurang kemiskinan kini semakin melebar. Sementara, hanya sekitar 28% responden yang percaya bahwa situasi ekonomi di negara mereka akan membaik.
Laporan menyebut bahwa kelompok usia gen Z dan milenial kerap dilanda kecemasan dan stres berlebihan. Namun, proporsi gen Z dinilai lebih besar. Sebanyak 46% gen Z mengakui bahwa mereka mengalami stres sepanjang waktu dengan proporsi yang lebih banyak pada responden perempuan. Sedangkan, persentase milenial yang mengalami stres lebih sedikit, yakni 38% responden.
“Tingkat stres dan kecemasan dilaporkan signifikan pada kedua generasi, namun lebih tinggi di antara gen Z. Sebanyak 46% gen Z mengatakan mereka stres sepanjang waktu, ini konsisten dengan hasil survei selama dua tahun terakhir. Ini sebanding dengan 38% milenial, yang tingkat stresnya perlahan menurun dari 44% pada tahun 2020 lalu,” tulis Deloitte dalam laporannya.
Deloitte mencatat, ada beberapa faktor yang menyebabkan gen Z dan milenial mengalami stres. Adapun, kekhawatiran akan masalah keuangan dalam jangka panjang menjadi faktor utama yang mendorong tingkat stres kedua generasi tersebut. Proporsinya adalah sebanyak 47% dari gen Z dan 43% dari milenial. Temuan ini mirip dengan survei tahun 2021.
Selain itu, sekitar 42% gen Z juga menganggap keuangan sehari-hari sebagai kontributor utama stres mereka. Angka ini meningkat dari 38% di tahun sebelumnya. Sementara, terdapat 39% milenial yang merasakan hal serupa.
Selanjutnya, ada pula faktor lain seperti kekhawatiran akan kesehatan dan kesejahteraan keluarga yang menyumbang 42% gen Z dan 39% milenial. Diikuti oleh faktor kesehatan mental dengan proporsi masing-masing sebesar 39% gen Z dan 30% milenial.
Biaya hidup yang mahal jadi perhatian utama
Gen Z dan milenial merasa sangat khawatir tentang kesenjangan kekayaan, dan kepercayaan dalam bisnis menurun. Deloitte melaporkan, sebanyak 72% responden dari kelompok gen Z dan 77% dari milenial menyetujui bahwa jurang kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar di negara mereka.
Tim riset menyebut, terdapat beberapa kekhawatiran utama oleh gen Z dan milenial di tahun 2022. Masing-masing kelompok usia sama-sama menyetujui bahwa biaya hidup menjadi problematika utama, dengan proporsi sebanyak 36% milenial dan 29% gen Z.
Diikuti oleh isu perubahan iklim dengan proporsi masing-masing sebesar 25% milenial dan 24% gen Z. Kemudian, ada pula masalah pengangguran dengan proporsi masing-masing sebanyak 20%.
Sementara, masing-masing kelompok usia mencatatkan permasalahan yang berbeda, yakni gen Z yang lebih khawatir terhadap isu kesehatan mental (19%) dan kekerasan seksual (17%). Sedangkan, milenial merasa khawatir dengan isu kesehatan/pencegahan penyakit (21%) dan keamanan pribadi (18%).
Untuk mengatasi masalah keuangan, gen Z dan milenial mengeksplorasi model kerja baru untuk memperluas sumber pendapatan mereka. Sebanyak 43% gen Z dan 33% milenial telah mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utama mereka.
Namun, Deloitte menyebut bahwa pekerjaan sampingan mungkin lebih dari sekadar sumber penghasilan lain. Gen Z dan milenial mengaku bahwa pekerjaan sampingan dapat mengasah keterampilan dan mengembangkan semangat kewirausahaan. Jenis pekerjaan sampingan yang paling banyak diambil oleh responden, di antaranya adalah menjual produk/layanan melalui platform online, konsultasi, serta menjalankan bisnis sendiri.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya