Anak-anak sering kali menjadi korban tak bersalah dari konflik bersenjata di berbagai negara. Hal ini selaras dengan apa yang Eglantyne Jebb, pendiri organisasi independen Save the Children katakan, “Setiap perang adalah perang melawan anak-anak."
Saat ini, di berbagai belahan dunia, jutaan anak terjebak dalam konflik yang tidak mereka ciptakan, yang sering kali berujung pada kematian.
Menurut tiga Laporan Tahunan terakhir Sekretaris Jenderal PBB tentang Anak-anak dan Konflik Bersenjata, total 2,985 anak terbunuh di 24 negara pada tahun 2022, 2,515 pada tahun 2021, 2,674 pada tahun 2020 di 22 negara dan pada tahun 2019, 4.019 anak terbunuh.
Sayangnya, jumlah korban anak-anak yang tewas akibat konflik bersenjata terus bertembah. Terlebih lagi dengan ketegangan yang tengah terjadi di Israel dan Palestina yang tak kunjung menemukan titik terang.
Data dari Iraq, Syria, dan Yemen (UNICEF), Gaza (OCHA), Afghanistan (UNAMA), Ukraine (Ukraine Gov) yang dilansir dari ALJAZEERA, korban anak-anak yang tewas terbanyak di daerah konflik berada di Gaza dengan jumlah mencapai 4.100 anak tewas dalam 31 hari atau setara dengan 136 anak tewas per harinya. Jumlah ini bahkan melampaui jumlah tahunan anak-anak yang terbunuh di zona konflik secara global sejak tahun 2019.
Disusul oleh Syria yang sempat berada dalam konflik perang saudara melawan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad sejak tahun 2011 hingga 2022 dengan jumlah 12.000 anak menjadi korban tewas dalam kurun waktu 11 tahun.
Afghanistan menjadi negara di posisi ketiga dengan jumlah anak-anak yang tewas terbanyak di zona konflik dengan total 8.099 anak tewas dalam rentang tahun 2009 hingga 2020 atau setara dengan 12 tahun.
Perlu ditekankan bahwa dampak yang ditimbulkan terhadap anak-anak dalam konflik bersenjata seringkali tidak hanya lebih parah dibandingkan dengan kerugian yang dialami orang dewasa, tapi juga mempunyai dampak jangka panjang, baik bagi anak-anak itu sendiri dan bagi masyarakat sosial di negara mereka.
Penulis: Anissa Kinaya Maharani
Editor: Iip M Aditiya