Beberapa hari lagi, Jakarta genap berusia 496 tahun. Usia yang hampir menginjak 5 abad ini membuat Jakarta sering disebut cukup matang dalam urusan perkotaan dan segala dinamikanya dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Terbuka dan mudahnya ragam akses, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga sosial membuat Jakarta selalu digandrungi oleh para penduduknya. Bahkan, angka penduduk yang pindah menetap di Jakarta tiap tahunnya selalu meningkat.
Baru-baru ini, Kementerian Perencanaan Pembangagunan Nasional/Bappenas berkolaborasi dengan United Nations Population Fund (UNFPA) merilis laporan bertajuk "Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045". Dalam laporan tersebut, jumlah penduduk DKI Jakarta diproyeksikan mencapai angka 11,24 juta jiwa pada tahun 2045 atau tepat 100 tahun Indonesia merdeka.
Bahkan, angka penduduk Jakarta diprediksi menembus 11,28 juta jiwa pada empat tahun sebelumnya sebelum turun ke angka 11,24 juta jiwa. Angka ini menjadi bukti bahwa Jakarta akan selalu menjadi primadona masyarakat untuk tinggal dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, berbicara Jakarta bak paradoks bagi para penduduknya. Hal tersebut dibuktikan dari hasil survei yang diadakan Litbang Kompas pada Oktober 2022 lalu.
Litbang Kompas melakukan wawancara tatap muka kepada sekitar 400 responden dengan metode pencuplikan sistematis bertingkat di provinsi DKI Jakarta. Secara umum, Kompas mengulik mengenai 'daya tarik' Jakarta di mata para penduduknya.
Saat ditanya mengenai kata atau frasa yang terlintas ketika mendengar nama Jakarta, dua besar yang muncul menjadi top of mind survei adalah kata "kemacetan" yang disebut oleh 23,6% responden dan "banjir" yang disebut oleh sekitar 11,4% responden.
"Hal yang kontradiktif tampak ketika menelusuri benak responden. Tatkala ditanya top of mind atau hal yang segera muncul dalam benak ketika mendengar kata Jakarta, sisi negatif kota ini yang lebih mendominasi," tulis Kompas dalam laporannya, Jumat (5/5).
"Dari dua peringkat teratas ini tampak bahwa cita-cita yang bernada positif harus dihadapkan pada kenyataan yang cenderung negatif. Bukan kemajuan ekonomi atau kehidupan serba berkecukupan yang menjadi top of mind dari orang yang tinggal di Jakarta. Sebaliknya sisi menantangnya yang lebih dominan, yakni hidup dalam bayang-bayang kemacetan dan banjir," sambung Kompas.
Punya daya tarik tersendiri
Secara umum, mereka yang tinggal di Jakarta adalah orang-orang yang diajak atau dibawa oleh sanak famili untuk mendapatkan pengharapan hidup lebih layak. Hal tersebut dibuktikan lewat pertanyaan alasan para responden menetap di Jakarta oleh Litbang Kompas.
Sekitar 43,8% atau mayoritas responden menjawab ikut orang tua/keluarga. Hal ini membuktikan, Jakarta memiliki daya tarik tersendiri, bahkan bagi orang-orang non-Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik di ibu kota ini.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan alasan mayoritas kedua yang menyebut "banyak peluang pekerjaan/usaha" dengan pilihan 36,8% responden. Kemudian, 7,7% responden lainnya menyebut untuk menempuh pendidikan yang lebih bermutu.
Persentase sisanya merupakan alasan-alasan yang menyebutkan bahwa Jakarta adalah kota nyaman dan memiliki akses atas segalanya, misalnya jawaban dekat dengan pusat modernitas dengan persentase 3,9%, tempat kelahiran dengan persentase 2,8%, aman dan nyaman dengan persentase 2,2%, serta akses yang mudah dengan persentase 1,3%.
Tentang harapan dan cita-cita
Lebih lanjut, para responden juga ditanyakan mengenai persoalan mendesak yang dirasa perlu segera diselesaikan di DKI Jakarta. Lagi-lagi, kata banjir dan macet menjadi harapan utama mereka untuk segera ditangani.
Banjir disebut oleh sekitar 28,8% responden, disusul 22,9% responden yang menyebut masalah transportasi yang berkaitan dengan kemacetan, transportasi massal, dan lainnya. Kemudian, masalah sosial mencakup kemiskinan, pendidikan, hingga kesehatan menjadi mayoritas ketiga dengan persentase 16,3%.
Kriminalitas dan polusi udara masuk ke posisi lima besar dengan persentase masing-masing 12% dan 5,5%. Infrastruktur kota yang mencakup jalur pedestrian, JPO, hingga air bersih dipilih oleh 4,6% responden, disusul oleh permukiman (ketersediaan unit, harga rumah, rusun, dll) dengan persentase 3,2%.
Yang menarik, di tengah beragamnya masalah-masalah perkotaan yang membandel di ibu kota, mayoritas responden berencana untuk menetap selamanya di Jakarta. Hal itu menjadi rencana bagi 62,2% responden ketika ditanya rencananya perihal Jakarta.
Hanya sekitar 13,1% responden yang berencana pindah ke luar Jakarta di masa mendatang (lebih dari 5 tahun ke depan) dan hanya 7,9% responden yang berencana pindah ke luar Jakarta dalam waktu dedkat (kurang dari 5 tahun).
“Akan tetapi, cenderung negatifnya persepsi orang Jakarta dan peliknya permasalahan yang harus dihadapi oleh kota yang ditinggalinya ini tak memadamkan api mereka untuk tetap bertahan di kota ini,” tulis Kompas.
“Artinya dengan kenyataan hidup yang keras, lebih dari separuh responden tidak melihat kemungkinan bahwa dirinya akan tinggal di wilayah selain Jakarta,” lanjut Kompas.
Penulis: Raihan Hasya
Editor: Iip M Aditiya