Ketidaksetaraan gender masih menjadi masalah di Indonesia terutama dalam hal pekerjaan. Perempuan menghadapi lebih banyak tantangan dalam mendaki tangga karir dibandingkan dengan laki-laki.
Melansir dari BPS, distribusi jabatan manajer menurut jenis kelamin tidak merata antar gender sejak tahun 2016-2023 dimana persentase laki-laki yang memegang jabatan tinggi sebagai pemimpin selalu lebih banyak daripada perempuan. Selain dari segi gender, perempuan juga mengalami tantangan dalam pengembangan karir akibat dari status pernikahannya.
Per tahun 2023, hanya 30,45% perempuan yang berstatus kawin atau dalam status pernikahan yang menempati posisi manajerial. Proporsi ini lebih rendah dari perempuan berstatus belum kawin atau belum menikah, cerai hidup, dan cerai mati. Perempuan berstatus cerai mati memiliki proporsi lebih besar dalam menempati posisi manajerial, yaitu 76,92%.
Hanya 38,95% perempuan berstatus belum pernah kawin menduduki posisi manajerial, sementara 66,38% perempuan berstatus cerai hidup berhasil berada di posisi manajerial walaupun keduanya kurang lebih berada dalam status sama yaitu tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan.
Pengaruh Anggapan Sosial Tentang Gender
Dalam hal pendapatan, perempuan yang sudah menikah jelas menghadapi apa yang disebut sebagai kesenjangan pendapatan. Melansir dar CNBC, laki-laki yang sudah menikah memiliki pendapatan lebih besar dibandingkan laki-laki lajang, perempuan lajang, dan perempuan yang sudah menikah.
Ini bukan berarti dengan menikah laki-laki otomatis mendapatkan pendapatan besar, namun karena laki-laki dengan pendapatan lebih tinggi cenderung untuk menikah sehingga laki-laki yang sudah menikah rata-rata memiliki pendapatan lebih besar dari laki-laki lajang.
Perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak dianggap kurang kompeten dan berdedikasi dalam pekerjaan karena fokusnya terbagi antara mengurus keluarga dan mengejar karir. Hal sebaliknya justru terjadi pada laki-laki, dimana laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak dianggap lebih layak, dewasa, serta lebih pantas untuk mendapatkan promosi.
Dalam keterangan dari World Economic Forum, di perusahaan yang menuntut jam kerja panjang, kontinuitas, dan fleksibilitas, para pemberi kerja mengasosiasikan peran sebagai ibu dengan motivasi dan komitmen untuk bekerja yang lebih rendah, serta keengganan untuk bekerja keras.
Sementara laki-laki yang sudah menjadi ayah dianggap sebagai individu yang paling termotivasi, berdedikasi, pekerja keras, dapat diandalkan, serta loyal sehingga mereka berkesempatan lebih besar untuk menunjukkan kemampuan mereka, menerima penghargaan yang lebih besar, serta menerima lebih sedikit pengawasan atas kinerja yang buruk.
Norma sosial umumnya beranggapan bahwa laki-laki yang seharusnya menjadi penyokong ekonomi keluarga dan menjadi sumber pendapatan terbesar dan utama dalam rumah tangga. Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menambahkan bahwa norma yang beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya memiliki pendapatan lebih tinggi dari laki-laki menyebabkan perempuan berstatus sudah menikah dan memiliki jenjang karir tinggi sering disalahkan jika rumah tangganya tidak harmonis yang dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Baca Juga: Perselisihan dan Pertengkaran Jadi Faktor Utama Perceraian di Indonesia
Penulis: Shofiyah Rahmatillah
Editor: Editor