Kebebasan berekspresi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijamin oleh negara, bahkan diatur dalam UUD 1945 pasal 28E dan 28F.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu indikator negara demokrasi sebagai wadah untuk menampung aspirasi rakyat. Sayangnya, kebebasan berekspresi di dunia digital justru dibatasi di Indonesia akibat adanya Undang-Undang dengan pasal karet.
SAFEnet meliris dalam laporan Triwulan I (Januari-Maret) dan Triwulan II (April-Juni) 2023, bahwa terdapat 57 laporan kasus kriminalisasi ekspresi di dunia digital sepanjang enam bulan ini, dengan 30 kasus di Triwulan . Mayoritas korban kriminalisasi memiliki latar belakang warganet, pesohor, serta mahasiswa. Sedangkan mayoritas pelapor mewakili institusi tertentu, pejabat publik, maupun perusahaan.
SAFEnet mengumpulkan data mengenai pasal yang paling sering digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi digital. Hasilnya, mayoritas pelapor menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Sebanyak 14 kasus kriminalisasi menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE di Triwulan I, dan 13 kasus di Triwulan II. Pasal 28 ayat 2 UU ITE digunakan di 8 kasus baik di Triwulan I maupun Triwulan II. Pasal 27 ayat 1 digunakan masing-masing sekali pada Triwulan I dan Triwulan II. Sementara penggunaan UU ITE tanpa penjelasan pasal terjadi sebanyak 2 kasus di Triwulan I dan 4 kasus di Triwulan II.
Selain UU ITE, terdapat dua kasus di triwulan I dan satu kasus di triwulan II yang menggunakan Pasal 310 KUHP sebagai pasal kriminalisasi, serta peraturan lainnya di Triwulan I.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE banyak digunakan untuk kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan laporan Triwulan dari SAFEnet, kasus pencemaran nama baik pada Triwulan I lebih banyak dilaporkan oleh pejabat publik dan pengusaha. Sedangkan di Triwulan II, kasus pencemaran nama baik lebih banyak dilakukan oleh orang yang mengaku bagian dari organisasi masyarakat.
SAFEnet juga mencatat bahwa pada periode Triwulan I, kasus Haris dan Fathia mulai memasuki masa persidangan di Pengadilan Jakarta Timur. Haris dan Fatia dijerat pasal pencemaran nama baik oleh Luhut Binsar Panjaitan, dan kasus ini berjalan dari tahun 2021 hingga saat ini.
Pasal 28 ayat 2 UU ITE mengatur tentang konten yang dianggap mengujar kebencian. Pasal karet ini kebanyakan digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Contoh kasusnya seperti yang terjadi pada bulan April 2023, dimana seorang content creator Tiktok asal Lampung dilaporkan Gubernur Lampung atas kontennya yang mengkritisi proyek yang berjalan di Lampung, termasuk jalan yang rusak. Bima dikenakan Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 UU ITE.
Saat ini, UU ITE berada di tahap revisi kedua. Panja Pemerintah mengusulkan beberapa pasal untuk direvisi, namun tidak ditemukan informasi mengenai pasal-pasal yang diusulkan untuk direvisi.
Koalisi Serius yang terdiri dari 28 organisasi masyarakat, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet, menilai bahwa pembahasan mengenai revisi UU ITE kedua dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi rakyat.
Koalisi Serius menuntut penundaan pengesahan revisi kedua UU ITE, karena pembahasannya terkesan buru-buru. Koalisi juga menuntut pembahasan yang tuntas mengenai pasal-pasal yang bermasalah, sehingga tidak ada lagi pasal karet yang rentan akan pelanggaran HAM.
Penulis: Kristina Jessica
Editor: Iip M Aditiya