Statistik tahunan PLN menunjukkan bahwa pasokan listrik Indonesia masih melebihi permintaan listrik masyarakat. Pada 2023, energi yang dihasilkan dan dibeli oleh PLN mencapai 323.320,62 GWh (Gigawatt-hour). Jumlah ini menunjukkan peningkatan 4,97% dari produksi listrik 2022.
Jika dibandingkan dengan sumber pembangkit lainnya, tenaga uap sangat mendominasi. Sejak 2017, energi yang dibangkitkan oleh PLTU telah melebihi 100.000 Gwh. Pada 2023, PLTU menyumbang listrik hingga 114.598,55 Gwh.
Jumlah tersebut tentu sangat jauh dibandingkan energi yang dihasilkan oleh PLTA, PLTM, PLTMH, PLT Bayu, atau PLT Surya yang bersumber dari energi terbarukan. Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang bersumber dari air, bahkan baru tersedia pada 2021.
Dari 323.320,62 GWh energi listrik yang dihasilkan pada 2023, hanya 288.435,78 yang dikonsumsi masyarakat. Artinya, masih ada listrik lebih yang tidak terjual. Kondisi oversupply listrik bukan pertama kali terjadi.
Dalam catatan tahunan PLN, jumlah energi listrik terjual, setidaknya pada 2015 hingga 2023, selalu lebih rendah dibandingkan energi listrik yang dihasilkan. Di antara selisih tersebut, pada 2022 energi yang dihasilkan mencapai 308.002,30 GWh, namun hanya terjual 273.761,48 GWh.
Energi listrik Indonesia paling banyak dimanfaatkan oleh rumah tangga, yaitu hingga 122.339,69 GWh per 2023.
Kemudian, ditempati sektor industri dengan 88.587,68 GWh, Bisnis dengan 57.112,00 GWh, sosial dengan 11.496,10 GWh, gedung pemerintahan dengan 5.285,12 GWh, serta penerangan jalan umum dengan 3.615,19 GWh. Secara nasional pada 2022, sebanyak 99,63% masyarakat telah menggunakan energi listrik.
Tak hanya menghasilkan energi listrik berlebih, keberadaan PLTU juga menimbulkan dampak negatif untuk lingkungan dan masyarakat sekitar. Meskipun energi listrik terus oversupply, kerja PLTU masih terus digencarkan.
Seperti dalam publikasi yang dilakukan WALHI, masyarakat di sekitar PLTU Paiton telah lama merasakan dampak keberadaan pembangkit listrik tersebut.
Para nelayan mengalami penurunan daya tangkap ikan karena limbah panas PLTU yang menimbulkan kenaikan suhu di perairan sekitar. Laju tongkang batu bara juga cukup mengganggu aktivitas kapal nelayan. Di samping itu, nelayan juga menyadari faktor lain, seperti perubahan iklim.
Pada sektor pertanian, debu hasil pembakaran dari pembangkit listrik mencemari tanaman budidaya dan lahan, sehingga menyebabkan penurunan hasil tani. Dua kondisi tersebut tentu berpengaruh pada penghasilan masyarakat.
Tak cukup persoalan ekonomi, kesehatan masyarakat juga menjadi hal yang dipertaruhkan. Warga sekitar pembangkit listrik mengaku mengalami gangguan pernapasan. Puskesmas Paiton menyatakan, ada lebih dari 100 pasien ISPA setiap tahunnya.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor