Gender Gap di Indonesia, Angka Putus Sekolah Didominasi oleh Laki-Laki

Jumlah siswa putus sekolah laki-laki lebih besar daripada perempuan dengan perbandingan 15,29%.

Gender Gap di Indonesia, Angka Putus Sekolah Didominasi oleh Laki-Laki Ilustrasi siswa laki-laki │ Agung Pandit Wiguna / Pexels

Jumlah siswa putus sekolah kembali mengalami kenaikan pada tahun ajaran 2022/2023. Angka Putus Sekolah (APS) di berbagai tingkat pendidikan mencapai 76.834 orang, dengan rincian jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.

Dari angka tersebut, jumlah putus sekolah di tingkat SD tampak masih mendominasi sejak tahun lalu dibandingkan dengan tingkatan lainnya. Meski demikian, APS tertinggi terdapat pada jenjang SMK yaitu sebesar 0,24% dan APS terendah terdapat pada SMP yaitu 0,14%.

Data dari Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemdikbudristek dalam Statistik dan Indikator Pendidikan Berwawasan Gender menunjukkan, jumlah siswa putus sekolah laki-laki lebih besar daripada perempuan. Perbandingan jumlah siswa laki-laki yang putus sekolah dibandingkan dengan siswa perempuan mencapai 15,29%.

Sementara itu, perbandingan gender (PG) siswa putus sekolah terbesar terdapat pada SMK yaitu sebesar 25,99. Artinya, siswa putus sekolah laki-laki lebih banyak 25,99% dibandingkan dengan siswa putus sekolah perempuan.

Fenomena tersebut ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, anak laki-laki tengah menghadapi tantangan terbesar mengulang kelas, putus sekolah, dan memiliki nilai akademi yang rendah. Sebanyak 132 juta anak laki-laki usia sekolah jenjang SD dan SMA sederajat tidak bersekolah di tahun 2020.

Salah satu faktor tingginya angka putus sekolah siswa laki-laki ialah kemiskinan dan fenomena pekerja anak. Anak laki-laki cenderung lebih mudah menjadi tenaga kerja dibandingkan perempuan. Faktor inilah yang menyebabkan angka pekerja anak, khususnya laki-laki lebih tinggi sehingga angka putus sekolah siswa laki-laki juga berbanding lurus.

Tahun 2020, ILO memprakirakan dari 160 juta anak yang terlibat dalam aktivitas tenaga kerja, sebanyak 97 juta adalah anak laki-laki.

Ekonomi jadi Faktor Utama Siswa Putus Sekolah

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, mayoritas (76%) keluarga mengungkapkan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena faktor ekonomi. Sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.

Kendala ekonomi juga ditemui dalam statistik yang dirilis oleh Bappenas. Dalam statistik tersebut diungkapkan, perjalanan pendidikan pada sebagian besar anak terpaksa terputus disebabkan oleh kesulitan biaya sekolah (24,87 persen) sehingga mereka juga harus bekerja/membantu mencari nafkah (21,64 persen). 

Selain masalah ekonomi, terdapat juga alasan sosial budaya yang mengakibatkan anak tidak bertahan dalam sistem persekolahan, yakni pernikahan dini dan menjadi ibu pada usia sekolah (10,07 persen), merasa pendidikan sudah cukup (9,78 persen), dan mengurus rumah tangga (4,49 persen). Permasalahan tersebut umumnya terjadi pada siswa perempuan.

Fenomena Putus Sekolah, Tanggung Jawab Siapa?

Meningkatnya jumlah siswa putus sekolah ini menjadi permasalahan bersama mengingat saat ini masyarakat global, termasuk Indonesia sedang memprioritaskan pembangunan perkelanjutan (SDGs). Dalam pembangunan tersebut, negara-negara di dunia berusaha untuk menciptakan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar untuk semua kalangan, sesuai dengan tujuan SDGs poin ke-4.

Didik Darmanto, Pemerhati Pendidikan di Kementerian PPN mengungkapkan, perlu adanya keterlibatan lintas bidang dan jenjang pemerintahan, mulai dari pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat untuk mengentaskan angka putus sekolah di Indonesia.

“Pemerintah daerah harus membangun sistem pengendalian penanganan anak putus sekolah. Pemerintah daerah secara berjenjang sampai tingkat pemerintah desa/kelurahan melakukan tracing dan pendampingan terhadap anak putus sekolah dan berisiko putus sekolah. Anak-anak tersebut dipastikan kembali dan bertahan di dalam sistem persekolahan,” tulisnya di laman Republika.

Selain itu, untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dalam pembiayaan pendidikan, ia juga mengungkapkan pemerintah berperan penting dalam memberikan bantuan pendidikan bagi anak dari keluarga tidak mampu. Saat ini, Program Indonesia Pintar/Kartu Indonesia Pintar dan berbagai bantuan pendidikan lainnya dinilai telah mampu memangkas kesenjangan partisipasi pendidikan antara keluarga termiskin dan terkaya.

Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Stella Christie Kaji Ulang Beasiswa LPDP, Berikut Alokasi APBN dan Jumlah Penerima dari Tahun ke Tahun

Wamendiktisaintek, Stella Christie, menegaskan pentingnya evaluasi berbasis analisis cost-benefit untuk memastikan bahwa dana digunakan dengan optimal.

Waspada! Konsumsi Gula Berlebih Menyebabkan Penuaan dari Dalam Tubuh

Konsumsi gula berlebih ibarat menabung bom waktu, berujung pada gangguan penuaan sel tubuh dan naiknya risiko mengalami berbagai penyakit kronis.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook