Digitalisasi semakin menjadi kebutuhan dalam berbagai sektor. Perubahan signifikan terlihat khususnya dalam sektor e-commerce, yang berkembang pesat selama pandemi Covid-19. Namun, seiring dengan peluang yang dihadirkan, digitalisasi juga memperlihatkan tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.
Usaha Kecil Mendominasi E-Commerce
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 32,46% usaha melakukan digitalisasi menuju e-commerce pada periode 2020–2021. Langkah ini didorong oleh pembatasan sosial selama pandemi yang memaksa banyak pelaku usaha mengalihkan operasional mereka ke platform digital.
Dilihat dari aktivitasnya, lebih dari 50% tenaga kerja sektor ini terlibat di bidang perdagangan dan industri pengolahan. Peluang yang muncul dari sektor ini tidak bisa diabaikan, di mana e-commerce memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja.
Selama tahun 2022, sektor e-commerce telah menyerap 10 juta tenaga kerja, atau 8,08% dari total penduduk yang bekerja. Sebagai contoh, toko daring skala kecil yang menjual pakaian atau produk kerajinan lokal tidak hanya menciptakan lapangan kerja bagi pemiliknya, tetapi juga bagi pekerja di rantai pasokan, seperti pembuat produk, kurir, dan pemasok bahan baku.
Namun, tantangan besar tetap ada. Berdasarkan survei BPS, 82,97% usaha e-commerce merupakan usaha dengan pendapatan kurang dari Rp300 juta per tahun, sementara 14,40% usaha e-commerce memiliki pendapatan Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun. Jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2008, skala ini menunjukkan bahwa sektor e-commerce masih didominasi oleh usaha mikro dan kecil.
Meski skala usaha ini relatif kecil, dampaknya terhadap pasar kerja cukup signifikan. Dengan meningkatnya adaptasi teknologi di kalangan usaha mikro dan kecil, peluang untuk memperluas skala bisnis mereka juga semakin terbuka.
Tantangan Ketimpangan Teknologi
Sayangnya, tidak semua wilayah di Indonesia dapat merasakan manfaat digitalisasi secara merata. Data menunjukkan bahwa provinsi dengan persentase usaha e-commerce tertinggi adalah Banten (47,59%), diikuti oleh DKI Jakarta (47,52%) dan DI Yogyakarta (44,73%). Di sisi lain, Sulawesi Barat dan Gorontalo mencatat persentase terendah (12,67%), diikuti oleh Maluku (12,80%).
Ketimpangan ini erat kaitannya dengan Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK). Menurut BPS, IP-TIK adalah ukuran komposit yang memberikan gambaran tingkat pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) suatu wilayah.
Pada tahun 2023, DKI Jakarta mencatat IP-TIK tertinggi diikuti oleh DI Yogyakarta di posisi kedua dan Banten di posisi keenam. Sementara itu, Sulawesi Barat berada di posisi keempat terendah dan Gorontalo di posisi kedelapan terendah secara nasional. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa wilayah dengan infrastruktur teknologi yang lebih baik memiliki potensi lebih besar untuk memanfaatkan digitalisasi dalam menunjang aktivitas ekonomi.
Sebagai contoh, pelaku usaha di DKI Jakarta dapat dengan mudah menggunakan teknologi seperti aplikasi manajemen inventori atau iklan digital untuk menjangkau konsumen secara lebih luas. Sebaliknya, pelaku usaha di Sulawesi Barat mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses internet berkualitas, sehingga sulit untuk memanfaatkan teknologi serupa.
Pemerataan Infrastruktur Teknologi Jadi Kunci
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, pemerataan pembangunan infrastruktur teknologi menjadi langkah penting. Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan bahwa pengusaha UMKM harus mulai beradaptasi dengan ekosistem digital untuk meningkatkan produktivitas. Maka dari itu, investasi pada jaringan internet, pelatihan keterampilan digital, serta pendampingan kepada pelaku usaha mikro dan kecil dapat menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan digital para pelaku usaha.
Meski saat ini e-commerce didominasi oleh usaha mikro dan kecil, pendampingan yang tepat dapat membantu mereka meningkatkan pendapatan dan skala usaha. Program pelatihan pemasaran digital yang didukung pemerintah atau swasta dapat mengajarkan pelaku usaha mikro dan kecil cara memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan penjualan.
Pada akhirnya, digitalisasi dapat menjadi katalisator bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan akses teknologi yang lebih merata, tidak hanya pemilik usaha yang akan diuntungkan, tetapi juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Digitalisasi dapat mengubah tantangan menjadi peluang, asalkan kita mampu mengatasi kesenjangan teknologi yang ada.
Baca Juga: Darurat Judi Online pada Anak, Ancaman Tersembunyi di Era Digital
Penulis: Aghnan Yarits Anggara
Editor: Editor