Dalam dunia bisnis, etika memainkan peran penting, terutama ketika sebuah perusahaan ingin menyampaikan pesan yang terlihat positif di mata publik. Salah satu contohnya adalah Uniqlo, brand pakaian terkenal, dengan kampanye Uniqlo Sustainability: Unlocking the Power of Clothing yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan.
Sebagai bagian dari industri fast fashion yang kerap dikritik karena kerusakan lingkungan akibat produksi masif, muncul dilema etis: apakah kampanye mereka benar-benar mencerminkan tindakan nyata atau hanya pencitraan belaka?
Masalah utamanya adalah ketidakseimbangan antara klaim keberlanjutan Uniqlo dalam kampanye Unlocking the Power of Clothing dengan kenyataan bahwa mereka masih beroperasi dalam industri fast fashion. Kampanye ini menampilkan Uniqlo sebagai brand peduli lingkungan dan masyarakat, dengan klaim bahwa produk mereka diproduksi dengan ramah lingkungan, menghormati hak asasi manusia, dan memberi kontribusi positif bagi masyarakat global.
Pesan ini memberi kesan bahwa Uniqlo telah mengambil langkah nyata untuk meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dalam rantai pasoknya.
Namun, Uniqlo tetap menghadapi kritik tajam terkait statusnya sebagai perusahaan fast fashion. Menurut penelitian Willows (2024), industri fast fashion dikenal dengan produksi massal berbiaya rendah, yang menghasilkan polusi, limbah tekstil, dan penggunaan bahan tidak ramah lingkungan.
Meski Uniqlo mengklaim fokus pada pakaian tahan lama dan berkualitas, model bisnis mereka mendorong konsumsi berlebihan yang memperparah masalah lingkungan. Selain itu, laporan menyebutkan pelanggaran hak pekerja di pabrik-pabrik pemasok Uniqlo, seperti kasus pekerja di Indonesia yang tidak menerima pesangon hingga jutaan US$ serta tuduhan penggunaan tenaga kerja paksa di Xinjiang, China.
Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan, apakah tindakan dan model bisnis Uniqlo sejalan dengan klaim keberlanjutannya? Sementara Uniqlo berupaya menunjukkan tanggung jawab lingkungan dan sosial, praktik bisnis mereka justru menunjukkan masalah yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka promosikan. Hal ini memicu dilema etis besar, apakah mereka benar-benar berkomitmen terhadap keberlanjutan atau sekadar greenwashing untuk menarik konsumen peduli lingkungan?
Greenwashing menjadi isu utama yang dipertanyakan. Meskipun Uniqlo menempatkan diri sebagai merek yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan, mereka tetap beroperasi dalam model bisnis fast fashion yang secara inheren berkontribusi pada masalah lingkungan.
Kampanye keberlanjutan mereka masih menyisakan pertanyaan besar tentang limbah tekstil yang dihasilkan. Dikutip dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, limbah kain menyumbang 2,88% dari akumulasi jenis sampah.
Selain itu, fast fashion memberikan dampak buruk bagi lingkungan, menyumbang hampir 10% emisi karbon global dan membuang jutaan pakaian ke tempat sampah setiap hari. Proses pewarnaan dan finishing kain menyumbang 3% emisi CO2 global serta lebih dari 20% polusi air global.
Merek-merek mode cepat memproduksi pakaian dua kali lebih banyak saat ini dibandingkan pada tahun 2000-an. Peningkatan produksi yang dramatis ini juga menyebabkan peningkatan limbah tekstil pra dan pascaproduksi. Banyaknya potongan pakaian yang diproduksi mengakibatkan banyak bahan yang terbuang karena tidak dapat digunakan lagi. Studi memperkirakan bahwa 15% kain yang digunakan dalam pembuatan pakaian terbuang sia-sia.
Selain greenwashing, eksploitasi buruh juga menjadi isu besar. Contohnya adalah kasus pabrik Jaba Garmindo di Indonesia. Ketika pabrik tersebut tutup pada 2015, sekitar 2.000 pekerja kehilangan pekerjaan tanpa menerima pesangon.
Warni Lena Napitupulu (Kudasai, 2018), salah satu mantan pekerja, menuntut Uniqlo untuk membayar US$5,5 juta sebagai pesangon yang belum terbayar. Ia menggambarkan kondisi kerja yang buruk, termasuk lembur berlebihan dengan upah minim, sekitar Rp8.000 ($0,50) per jam. Meskipun Uniqlo bukan pemilik langsung pabrik tersebut, mereka adalah salah satu klien utama pabrik tersebut, yang berkontribusi pada tekanan produksi tinggi.
Laporan CNN Indonesia (2019) menyebutkan bahwa Fast Retailing, induk Uniqlo, menyatakan tidak memiliki tanggung jawab hukum terhadap masalah tersebut karena pabrik telah dinyatakan bangkrut. Meski demikian, mereka mengklaim telah mencoba membantu pekerja dengan menawarkan pekerjaan di pabrik lain.
Namun, kritikus seperti Clean Clothes Campaign dan Johnson Yeung Ching-yin menekankan bahwa Uniqlo harus memiliki tanggung jawab moral. Mereka berpendapat bahwa Uniqlo gagal memastikan rantai pasok mereka memenuhi standar hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam prinsip panduan PBB. Hal ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa merek besar lain seperti Nike dan Adidas telah melunasi utang pekerja dalam kasus serupa.
Isu-isu ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen Uniqlo terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan. Meski mereka mengklaim ingin menjadi bagian dari solusi global, kenyataannya, mereka masih terlibat dalam praktik yang mengeksploitasi buruh dan merusak lingkungan, yang bertentangan dengan nilai keberlanjutan yang mereka usung.
Penulis: Anastasia Putri Loahandi
Editor: Editor