Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang memengaruhi cara seseorang dalam berpikir, merasa, dan berperilaku. Beberapa ciri umum skizofrenia adalah halusinasi, delusi, pikiran kacau, gangguan emosi, perilaku abnormal, hingga kehilangan fungsi sosial dan pekerjaan
Di Indonesia, skizofrenia masih menjadi tantangan besar dalam hal kesehatan mental. Stigma sosial dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang skizofrenia menyebabkan penderita sering dikucilkan dan tidak mendapatkan dukungan yang memadai.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Mental Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI DR. dr. Fidiansyah, Sp.KJ, MPH menyebut bahwa berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kejiwaan, terutama dari akar permasalahannya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
“Kebijakan strategis kita mencoba bergerak ke hulu. Bagaimana titik berat itu dalam pencegahan, terlebih pada persoalan-persoalan yang memiliki dampak besar,” kata Fidiansyah dalam laman Kemenkes RI.
Prevalensi DI Yogyakarta Hampir 10%
Dalam data yang dirilis melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi dengan prevalensi gejala skizofrenia tertinggi, dengan angka mencapai 9,3%. Dari angka gejala tersebut, sebanyak 7,8% memang terdiagnosis skizofrenia.
Prevalensi yang dimaksud mencakup seluruh rumah tangga dengan anggota rumah tangga (ART) yang memiliki gejala maupun terdiagnosis mempunyai psikosis atau skizofrenia.
Pemegang posisi kedua berasal dari tetangganya, yaitu Jawa Tengah yang memiliki prevalensi gejala sebesar 6,5% serta prevalensi diagnosis sebesar 5,1%.
Provinsi luar wilayah Jawa seperti Sulawesi Barat serta Nusa Tenggara Timur menyusul di peringkat berikutnya dengan prevalensi gejala masing-masing sebesar 5,9% dan 5,5%, serta prevalensi diagnosis sebesar 4,2% dan 3,4%.
Secara keseluruhan, prevalensi nasional skizofrenia berada di angka 4% dari sisi gejala dan 3% dari sisi diagnosis. Rumah tangga dengan anggota terdiagnosis skizofrenia lebih banyak tinggal di perkotaan (3,1%) dibanding pedesaan (2,8%).
Adapun survei ini melibatkan 315,6 ribu rumah tangga di Indonesia dari 34,5 ribu blok sensus dari 38 provinsi di tanah air.
"Stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia pada penderita skizofrenia seperti pemasungan sering terjadi. Lebih dari dua pertiga penderita psikosis di dunia tidak menerima layanan kesehatan mental spesialis. Satu dari tiga penderita skizofrenia akan dapat pulih sepenuhnya," tulis Kemenkes RI.
Mayoritas Penderita Berasal dari Masyarakat Ekonomi Bawah, 6,6% Pernah Dipasung
Lebih lanjut, Kemenkes RI menyebut bahwa dari seluruh sampel yang ada, pengidap gejala skizofrenia lebih berpeluang terjadi pada masyarakat yang berasal dari status ekonomi bawah dan menengah bawah. Prevalensi pada status ekonomi terbawah adalah 8,8% untuk gejala dan 5,9% untuk diagnosis.
Sementara itu, prevalensi pada status ekonomi menengah bawah adalah 5,2% untuk gejala serta 3,7% untuk diagnosis.
Dari angka nasional pengidap skizofrenia yang disurvei, sebanyak 6,6% di antaranya diklaim pernah dipasung. Bahkan, sebanyak 25,2% di antaranya pernah dipasung dalam tiga bulan terakhir. Proporsi pengidap yang pernah dipasung ini lebih banyak bertempat tinggal di area pedesaan
Ada berbagai alasan mengapa anggota rumah tangga tersebut dipasung, alasan yang paling banyak dijumpai adalah perilaku pengidap yang cenderung mengganggu ketenangan orang lain, hingga kekerasan terhadap orang lain seperti mengamuk, membunuh, dan lain-lain.
"Tindakan pemasungan dapat menggunakan cara pengikatan atau pengisolasian," tambah Kemenkes RI dalam laporannya.
Peningkatan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang skizofrenia sangat diperlukan untuk mengurangi stigma negatif dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi penderita.
Baca juga: 1 dari 3 Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Mental
Penulis: Pierre Rainer
Editor: Editor