Di era digital yang serba cepat, viralitas di media sosial (medsos) dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini dapat memberikan eksposur positif, tapi di sisi lain, dapat memicu krisis reputasi yang sulit dikendalikan.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan, organisasi, dan individu untuk memahami cara membangun narasi yang baik, mengemasnya secara menarik, dan menjaga batasan etika dalam menghadapi dinamika opini publik.
Topik ini diangkat dalam diskusi Goodtalk Off-air berjudul “Viralitas vs Reputasi: Menimbang Batas Etika dalam Komunikasi Publik” yang diselenggarakan Good News From Indonesia (GNFI) bekerja sama dengan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) pada Selasa, 25 Februari 2025 di Gowork Plaza Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat.
Diskusi dihadiri 3 orang narasumber yang berbagi wawasan dan pengalaman di bidang komunikasi strategis, komunikasi digital, hingga etika komunikasi publik.
Viral: Antara Peluang & Ancaman
Menurut laporan We Are Social, diperkirakan jumlah pengguna aktif media sosial (medsos) di Indonesia per Januari 2025 mencapai 143 juta orang atau 50,2% dari populasi. Whatsapp (91,7%), Instagram (84,6%), dan Facebook (83%) jadi trio medsos terpopuler di Tanah Air.
Terpisah, hasil survei Jakpat pada paruh kedua tahun lalu mengungkap bahwa mayoritas publik mengakses medsos untuk hiburan, mencari informasi hingga berita terbaru.
Volume pengguna yang besar, diiringi tingginya ‘dahaga’ akan informasi ini memungkinkan pertukaran informasi kini berlangsung begitu cepat, lintas isu dan platform, yang meningkatkan pula kemungkinan sebuah isu menjadi viral.
Kata “viral” dalam konteks di era digital merujuk pada penyebaran informasi secara eksponensial di seluruh jaringan dalam waktu yang singkat.
Viralitas di satu sisi bisa menjadi peluang bagi brand untuk mengincar eksposur positif dan memperkuat brand awareness. Tapi di sisi lain, ini juga bisa meningkatkan peluang amplifikasi isu negatif dari sebuah brand dalam waktu singkat, yang berujung pada krisis komunikasi.
“Ketika sebuah isu muncul dan tidak ditangani dengan baik, ini akan menjadi viral dan punya dampak serius mulai dari rusaknya reputasi, [penjualan] bisnis turun drastis, hingga konsekuensi hukum dan regulasi,” kata Head of Corporate Affairs GoTo Financials, Audrey Progastama Petriny dalam pemaparannya.
Audrey, dengan pengalamannya di bidang komunikasi korporat, menekankan pentingnya manajemen krisis dalam menjaga reputasi di era digital. Ia juga menggarisbawahi bahwa penanganan untuk setiap krisis tidak selalu sama.
Ia membedakan misalnya krisis media sosial—yang sering dipicu emosi seperti keluhan pelanggan, hoaks, atau kontroversi—dengan krisis akibat peristiwa besar, seperti bencana alam, kecelakaan, atau masalah kesehatan, yang membutuhkan koordinasi luas dan memiliki dampak serius.
“Kondisi krisis yang dialami belum tentu sama, penanganannya disesuaikan secara khusus berdasarkan penyebab, skala, maupun dampaknya,” terang Audrey yang juga menjabat Ketua Bidang International Relations Perhumas tersebut.
Namun, terlepas dari apa pun latar belakangnya, Audrey menekankan 3 elemen inti yang wajib ada dalam setiap penanganan krisis, yakni cepat tanggap dan akurat, transparan dan berempati, serta bertanggung jawab.
Menurutnya, ketiga elemen ini penting untuk memastikan situasi krisis terkelola dengan bijak, terbuka, sehingga kepercayaan publik bisa tetap terjaga.
Pemetaan Risiko Krisis di Industri Penerbangan
Danang Mandala Prihantoro dari Lion Air Group memberikan perspektif mendalam tentang pengelolaan krisis di industri penerbangan, yang dikenal sensitif terhadap faktor eksternal.
Danang memulai dengan memetakan 6 kategori potensi krisis yang relevan dengan bisnis maskapai: keamanan, reputasi, aturan/regulasi, investasi/kepemilikan, promosi, dan teknologi.
“Pemetaan ini kami jadikan pedoman untuk menghadapi dan menyederhanakan setiap masalah krisis komunikasi, dirumuskan berdasarkan pengalaman,” jelas Danang.
Ia memaparkan 3 strategi utama Lion Air Group saat menghadapi krisis komunikasi. Pertama, penyederhanaan birokrasi, untuk memastikan proses pengambilan keputusan cepat dan efisien untuk menangani isu sebelum membesar.
Kedua, prioritisasi narasi, untuk menentukan tokoh kunci (siapa yang bicara), isi pesan, sumber informasi, dan cara penyampaian agar pesan tetap terkontrol dan konsisten. Ketiga, mengubah keluhan menjadi storytelling positif.
Danang menekankan bahwa pendekatan proaktif dalam mengelola komplain dari publik, termasuk dari influencer atau media, mampu meredam potensi krisis.
“Jika ada yang komplain, kami dekati, beri briefing untuk menjelaskan sesuai kebutuhan mereka, lalu kami kasih pemahaman agar mereka melihat sisi positifnya,” ungkapnya.
Etika di Tengah Kehausan Atensi
Ika Idris, Associate Professor Public Policy and Management Monash University, juga memberi perspektif menarik tentang keterkaitan viralitas dan etika komunikasi publik.
Ika memperkenalkan konsep marketplace of attention, di mana perhatian audiens kini seakan telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan, layaknya pasar dengan hukum supply and demand.
“Perhatian kita sudah menjadi pasar. Media, baik tradisional maupun modern, bersaing menarik audiens, sementara ukuran keberhasilan bergeser dari kualitas konten ke kuantitas engagement,” jelasnya.
Salah satu konsekuensi dari fenomena ini, menurutnya, membuat audiens semakin demanding dan emosional, sementara kualitas informasi terabaikan.
“Konten dangkal dimaklumi selama engagement tercapai. Ini diperburuk juga dengan kurangnya transparansi, ketidakjelasan alur, dan bergesernya kompas moral organisasi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ika membedakan persuasi dan manipulasi sebagai garis batas etika dalam menciptakan viralitas. Persuasi, katanya, menggunakan argumen logis dan bukti nyata untuk memengaruhi audiens. Sebaliknya, manipulasi memanfaatkan taktik psikologis, menyamarkan motif, dan menargetkan komunitas rentan (vulnerable stakeholders).
Ika menawarkan 4 langkah untuk menjaga etika dalam komunikasi publik, yakni prioritaskan informasi berkualitas dalam pengambilan keputusan, tetapkan batasan situasi krisis, bangun empati dengan audiens, lalu perhatikan kebutuhan vulnerable stakeholders.
“Viralitas tidak selalu negatif, asalkan berada dalam ruang persuasi, bukan manipulasi,” tutup Ika.
Baca Juga: Membangun Reputasi Brand di Tengah Kebisingan Ruang Digital
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor