Presiden Prabowo akan mengalihkan proyek food estate ke Merauke, Papua. Sebelumnya, proyek ini memprioritaskan pengerjaan di Kalimantan. Meskipun infrastruktur Merauke belum sepenuhnya memadai, lokasi ini dinilai lebih subur dari Kalimantan dan akan lebih produktif.
Dengan tantangan infrastrukturnya, anggaran food estate mengalami peningkatan. Sebelumnya, proyek ini dianggarkan dengan Rp114,3 triliun. Pada 2025 mendatang, anggarannya meningkat 8,83% menjadi Rp124,4 triliun.
Anggaran tersebut akan digunakan untuk proses pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi termasuk distribusi ke masyarakat.
Proyek ini mengingatkan kembali pada proyek serupa yang sempat diagendakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proyek tersebut bertajuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Dalam laporan Pusaka Bentala Rakyat, MIFEE yang sebelumnya digembar-gemborkan untuk pemberdayaan masyarakat, justru menjadi media akuisisi lahan besar-besaran.
Masyarakat sekitar lahan MIFEE memiliki ragam cara untuk mengakses pangan. Akan tetapi, setelah dilaksanakannya MIFEE, ragam akses pangan itu hilang, bersamaan dengan hilangnya hutan. Masyarakat setempat harus membeli bahan pangan yang sebelumnya didapatkan dengan berkebun, berburu, memancing, dan lain sebagainya.
Proses pengalihan lahan pun dinilai tidak adil. Di Kampung Zanegi, 300 ribu hektar tanah dihargai dengan Rp300 juta. Artinya, satu hektar tanah dihargai Rp1.000.
Proyek MIFEE pun mengesampingkan kontribusi perempuan dengan menganggap kinerjanya sebagai “bantuan” semata.
Di awal 2013, muncul kasus kematian anak karena ISPA, masalah gizi, dan muntah berak. Kemudian, penyakit tersebut juga menyerang perempuan karena konsumsi tembakau dan pinang berlebih untuk mengganjal lapar.
Selain itu, muncul indikasi HIV/AIDS akibat aktivitas seksual berbayar di lingkungan kamp-kamp perkebunan.
Klaim Food Estate sebagai Jawaban untuk Ketahanan Pangan Negeri
Program food estate merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 di era Presiden Jokowi. Tujuannya, untuk menciptakan kedaulatan pangan melalui kawasan pertanian terpadu, meliputi pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Food estate kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru. Program ini juga menargetkan penggunaan lahan yang terbengkalai dan meminimalisasi impor bahan pangan.
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) daerah-daerah di Indonesia cenderung tergolong baik. Hanya saja, ada 2 provinsi (dari 34 provinsi terdata) yang masih termasuk rendah. Dua provinsi tersebut adalah Papua dan Papua Barat.
IKP diperoleh dari aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan dilihat dari rasio konsumsi normatif terhadap produksi bahan pokok pangan. Sementara, keterjangkauan pangan dilihat dari persentase penduduk miskin, persentase rumah tangga yang pengeluaran pangannya lebih dari 65% dari total pengeluaran, serta rumah tangga tanpa listrik.
Pemanfaatan pangan dilihat dari rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun, persentase rumah tangga tanpa air bersih, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk, persentase balita stunting, dan angka harapan hidup saat lahir.
Food Estate Terus Gagal?
Selama periode sebelumnya, food estate dinilai belum menunjukkan hasil yang signifikan. Catatan Pusaka Bentala Rakyat bahkan menyebut proyek food estate era Presiden SBY gagal.
Selain itu, protek food estate era Presiden Jokowi juga belum dinyatakan berhasil. Dilansir dari BBC.com, selama tiga tahun berjalan, ribuan lahan food estate di Kalimantan justru terbengkalai atau beralih menjadi perkebunan sawit milik swasta.
Jauh ke belakang, Presiden Soeharto juga sempat menerapkan metode serupa, melalui program Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Akan tetapi, program tersebut juga tidak berhasil.
Kini, food estate di Merauke pun sudah berkali-kali mendapat penolakan dari masyarakat. Proyek dengan target 2,29 juta hektar kawasan hutan dan lahan ini belum mendapat persetujuan masyarakat adat.
Seluruh lahan food estate berada di wilayah masyarakat adat. Menurut penuturan Pastor Pius Manu, pergerakan pemerintah yang melibatkan aparat membuat masyarakat adat merasa tersudut.
Selain itu, KLHK juga menyebut proyek ini belum memiliki Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Baca Juga: Getah Food Estate, Botaknya Jutaan Hutan Indonesia
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor