Sejak didorong pemerintah untuk beralih dari kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke kompor induksi pada 2019 lalu, penggunaan kompor dengan sumber energi listrik di Indonesia masih sangat rendah. Program ini pun sempat tersendat pada 2022, rencananya akan dimulai kembali pada 2025.
Secara nasional, bahan bakar gas atau LPG masih mendominasi di dapur masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di beberapa daerah justru bahan bakar lain yang lebih umum digunakan.
Di Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat, lebih dari setengah rumah tangganya menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Sebagian yang lain, banyak pula yang memanfaatkan kayu.
Sementara itu, ada 63,77% di Papua; 68,11% di Nusa Tenggara Timur; 22,22% di Sulawesi Tengah; dan 15,75% rumah tangga di Sulawesi Barat yang menggunakan kayu untuk bahan bakar memasak.
Pemanfaatan energi listrik untuk kehidupan sehari-hari tengah ramai menjadi konsentrasi. Tak hanya untuk kendaraan, energi yang lebih minim polusi dalam penggunaannya ini juga mulai memasuki dapur masyarakat. Namun sayangnya, penggunaannya masih kurang populer di tanah air.
Mengapa Pengguna Kompor Listrik Masih Sangat Sedikit di Indonesia?
Untuk beralih menggunakan kompor listrik, dibutuhkan biaya lebih untuk membeli perangkat kompor listrik dan alat masak, serta peningkatan daya listrik.
Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, menyatakan bahwa program transisi ini utamanya ditujukan untuk kelas menengah atas.
“Nah, dimulailah transisi ini harusnya dari orang menengah ke atas, orang yang sudah mampu menggunakan kompor listrik,” jelas Djoko (17/1), dilansir dari Kompas.
Jumlah pengguna yang cenderung stagnan salah satunya disebabkan oleh target yang kurang tepat. Masyarakat juga khawatir akan kenaikan tagihan listrik yang signifikan, membuatnya merasa enggan untuk menggunakan energi listrik sebagai sumber energi kompor.
Sebetulnya PT PLN telah menyediakan tarif listrik untuk kompor induksi yang dibedakan dengan tarif listrik lainnya. Dalam uji coba di Solo dan Bali, konsumen cukup membayar Rp10.000 dalam satu bulan, khusus untuk kebutuhan memasak.
Sejak terhenti pada 2022, pemerintah mengganti pemberian kompor listrik dengan rice cooker. Program ini mulai berjalan pada 2023. Akan tetapi, pemerintah kembali akan menggalakkan program pembagian kompor listrik untuk masyarakat.
Bahan Bakar Listrik untuk Memasak Justru Mendominasi di Negara Ini
Di Eropa, bahan bakar listrik untuk memasak telah digunakan hingga 45% pada 2022. Bahan bakar lainnya, yaitu gas mencapai 39% dan bahan bakar padat mencapai 16%. Situasi serupa juga terjadi di Amerika Serikat.
Dilansir dari Modern Energy Cooking Services, jaringan pipa gas di Amerika Serikat bahkan tidak menjangkau lebih dari 25% rumah tangga. Dibandingkan kompor dengan gas, panci presto elektrik lebih umum ditemukan di Amerika Serikat, China, Jepang, dan Korea Selatan.
Mengapa Transisi Ini Diperlukan?
Kompor listrik memiliki sejumlah keunggulan. Dengan perpindahan panas yang lebih singkat, proses memasak akan lebih singkat sehingga lebih efisien. Energi listrik yang diubah menjadi energi panas ini juga dapat mengurangi polusi, khususnya dalam lingkup keluarga.
Selain itu, tarif listrik cenderung lebih stabil daripada harga gas atau harga minyak yang mudah terpengaruh inflasi atau ketersediaan stok.
Kompor listrik mampu mengurangi risiko ledakan atau kebakaran karena pada prosesnya pun tidak mengeluarkan api. Keuntungan lainnya, dengan kompor listrik, pengguna dapat mengatur suhu yang diinginkan ketika memasak.
Baca Juga: 53,9% Masyarakat Indonesia Tidak Berminat Membeli Kendaraan Listrik
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor