Di tengah geliat perang dagang yang terjadi akibat penetapan tarif resiprokal oleh Trump, Amerika Serikat masih menjadi salah satu pasar ekspor utama Indonesia. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada 3 bulan pertama pada 2025 ini mencapai US$7,3 miliar, tertinggi kedua setelah China yang mencapai US$14 miliar.
Pada bulan Maret 2025, nilai ekspor nonmigas ke AS mencapai US$2,6 miliar. Sepanjang 2025 ini, Indonesia telah mengekspor US$7,3 miliar komoditas nonmigas ke AS. Nilainya ini meningkat 20,06% dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan nilai sebesar US$6,3 miliar. Dengan demikian, nilai ekspor ke AS ini berkontribusi 11,6% terhadap total ekspor nonmigas pada Kuartal I 2025.
Selain China dan AS, Indonesia juga menjalin hubungan dagang yang baik dengan India. Nilai ekspor nonmigas ke India pada Kuartal I 2025 mencapai US$4,28 miliar, tertinggi ketiga, diikuti oleh Jepang dengan US$3,52 miliar, hingga negara tetangga seperti Malaysia (US$2,98 miliar), Thailand (US$2,32 miliar), dan Singapura (US$1,89 miliar).
Jika ditinjau dari kelompok komoditasnya, maka Indonesia paling banyak mengekspor mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) ke AS, nilainya mencapai US$1,22 miliar pada Kuartal I 2025, setara dengan 17% dari total nilai ekspor nonmigas ke AS. komoditas lain yang tak kalah penting adalah alas kaki (HS 46), pakaian dan aksesori rajutan (HS 61), hingga pakaian dan aksesori non rajutan (HS 62).
Selain alas kaki dan pakaian, Indonesia juga turut mengekspor lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15), dengan nilai mencapai US$507,19 juta, diikuti perabotan dan alat penerangan (HS 49) sebanyak US$410,48 juta, karet dan barang lain dari karet (HS 40) senilai US$397,61 juta, ikan dan udang (HS 03) senilai US$287,34 juta, mesin dan peralatan mekanis (HS 84) senilai US$244,5 juta, hingga kakao dan olahannya (HS 18) senilai US$235,94 juta.
Data di atas menunjukkan seberapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS, yang selama ini sudah banyak mengimpor komoditas dari Indonesia. Pemberlakuan tarif timbal balik sebesar 32% dengan tarif dasar baru sebesar 10% bakal sangat memengaruhi ekonomi dan dinamika perdagangan dalam negeri. AS juga menerapkan tarif tambahan sebesar 25% dari tarif awal yang sudah berlaku khusus untuk baja, alumunium, otomotif, dan komponen otomotif.
"Catatannya adalah, jika diterapkan, maka tarif dasar baru dan resiprokal tidak diberlakukan. Jadi kalau sektor ini, satu negara sudah dikenakan tarif sektoral, misalnya Indonesia mengekspor baja, atau aluminium, ataupun otomotif, dan komponennya, kemudian akan dikenakan tarif sektoral sebesar 25% maka tarif dasar baru dan tarif resiprokal tidak akan dikenakan," jelas Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono di kantor Kemendag, Senin (21/4/2025).
Sejauh ini, Indonesia sedang mengupayakan negosiasi dengan AS sebelum pemberlakuan tarif resiprokal yang diundur 90 hari sejak penetapan pertama. Salah satu poin yang dinegosiasikan oleh Indonesia antara lain peningkatan impor beberapa komoditas dari AS. Indonesia juga berencana memberi kesempatan pada perusahaan AS dengan perizinan yang lebih mudah untuk beroperasi dalam negeri. Tidak hanya itu, Indonesia turut menawarkan kerja sama di bidang mineral, perbaikan layanan keuangan, perbaikan regulasi TKDN, hingga deregulasi perdagangan.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor