Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kinerja pemerintahan Indonesia tergolong rentan korupsi dengan skor 71,53. Nilainya hanya mengalami sedikit peningkatan dari 2023 yang mulanya memiliki skor 70,97.
Skor SPI di bawah 73 termasuk dalam golongan rentan. Golongan waspada berada di rentang 73-77,9 dan golongan terjaga memiliki skor 78 atau lebih.
Tahun ini, SPI diikuti oleh 641 instansi yang terdiri dari 94 kementerian atau lembaga, 37 pemerintah provinsi, 508 pemerintah kabupaten/kota, serta 2 BUMN. Keikutsertaan BUMN baru terlaksana pada tahun ini. BUMN yang terlibat adalah Bank Rakyat Indonesia dengan skor 73,95 dan Bank Tabungan Negara dengan skor 84,36.
BI Juara di Kelompok Kementerian/Lembaga
Bank Indonesia (BI) menggeser posisi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang menempati posisi pertama pada 2023. Pada 2024, BI memimpin dengan skor 86,71. Meskipun demikian, BI pernah mencapai skor lebih tinggi, yaitu 89,69.
Akan tetapi, tidak semua kementerian atau lembaga terlibat. TNI dan Badan Intelijen Negara tidak berpartisipasi karena data responden (pegawai instansi) yang perlu dijaga kerahasiaannya. Badan Pangan Nasional juga belum bersedia untuk mengikuti survei ini, bersamaan dengan Badan Karantina Indonesia yang tidak menyampaikan data populasi.
Komisi Penyiaran Indonesia menjadi lembaga dengan skor SPI paling rendah, yaitu 68,17 dan tergolong rentan.
Lembaga lain yang juga tergolong dalam kategori rentan adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (69,98), Kepolisian RI (70,99), Kementerian Ketenagakerjaan (71,29), Komisi Kejaksaan RI (72,31), serta Kejaksaan Republik Indonesia (72,7).
Jajaran Pemda dengan Skor Antikorupsi Tertinggi
Tiga teratas pemerintah kabupaten/kota dengan skor tertinggi berada di jalur Pantura, yaitu Kota Pekalongan, Kota Tegal, dan Kabupaten Batang. Dengan status terjaga, Pemerintah Kota Pekalongan memimpin dengan skor 82,25.
Dari sekian banyak pemerintah daerah yang ikut serta, status rentan masih mendominasi. Tiga kabupaten/kota dengan skor SPI terendah adalah Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur (52,93), Pemerintah Kabupaten Mamberamo Tengah (54,11), dan Pemerintah Kabupaten Merauke (55,06).
Di tingkat provinsi, Jawa Tengah menempati posisi teratas dengan skor 79,47. Posisi kedua ditempati oleh Provinsi Bali dengan skor 77,97 dan Provinsi D.I. Yogyakarta 74,6.
Sementara itu, provinsi dengan skor terendah adalah Maluku Utara (57,35), Papua Selatan (58,05), dan Sumatera Utara (58,55).
SPI menjadi salah satu komponen yang digunakan Kementerian Keuangan dalam distribusi Dana Insentif Daerah. Daerah dengan status terjaga akan memperoleh dana ini.
Curi-curi Kesempatan Paling “Lumrah” dari Catatan SPI
Suap atau gratifikasi ditemukan di 90% kementerian/lembaga dan 97% pemerintah daerah. Instansi dengan skor tergolong terjaga, belum tentu terlepas dari aktivitas ilegal ini.
“Terjadinya hampir di 90% tapi frekuensinya saja yang membedakan, jadi ada yang banyak sekali, ada yang sedang, ada yang sedikit sekali. Oleh karena itu skor itu mencerminkan frekuensi yang ada,” jelas Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, pada peluncuran SPI, Rabu (22/1/2025).
Lebih dari suap, penyalahgunaan pengadaan barang dan jasa paling banyak dilakukan. SPI 2024 mencatat 97% kementerian/lembaga dan 99% pemerintah daerah melakukan penyalahgunaan ini.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan yang banyak terjadi adalah kualitas barang dan jasa rendah, pemenang vendor yang sudah diatur, hasil pengadaan barang dan jasa tidak bermanfaat, nepotisme, dan gratifikasi. Nepotisme paling banyak terjadi, yaitu hingga 71%.
Kemudian, jual beli jabatan terjadi hingga 17% dan intervensi pihak lain untuk mempengaruhi keputusan unit kerja terjadi pada 8% dari total instansi.
Penilaian SPI
Skor SPI ditentukan oleh tiga pihak, yaitu internal lembaga, eksternal lembaga, dan ahli. Masing-masing berkontribusi dengan memberikan keterangan sesuai ranahnya. Ada pula faktor koreksi yang berasal dari prevalensi korupsi lembaga dan integritas dalam pelaksanaan SPI.
Dengan faktor koreksi tersebut, lembaga yang memiliki kasus korupsi atau tengah menyelesaikan proses korupsi otomatis akan dikurangi skornya.
Adanya SPI disebut sebagai bahan untuk evaluasi masing-masing instansi dan bukan untuk saling unjuk kelemahan.
“SPI didesain sebagai cermin, jadi apapun skornya bukan untuk mempermalukan atau membanggakan, tapi lebih sebagai cermin. Jadi kita bisa liat kurangnya dimana dan KPK menyediakan panduan untuk memperbaiki pada ke depan secara teknis,” tutur Pahala.
Baca Juga: 70,56% Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi pada Anak Berasal dari Keluarga
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor