Baru-baru ini media sosial tengah ramai membahas putusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (AS) yang membatalkan keputusan tahun 1973 atau lebih dikenal dengan Roe vs Wade, terkait hak pada perempuan untuk melakukan aborsi. Keputusan tersebut mendapat berbagai penolakan dari sejumlah masyarakat dan memunculkan berbagai kontroversi. Meski demikian, hasil keputusan ini justru menjadi kemenangan bagi Partai Republik dan konservatif agama yang membatasi legalitas aborsi.
Berkat hasil keputusan tersebut, aksi protes meledak di beberapa daerah. Bentuk protes juga datang dari berbagai kalangan, melansir Reuters Presiden AS Joe Biden turut memberi tanggapan setelah satu jam keputusan diumumkan. Dalam pidatonya Biden menyebut, hasil keputusan itu sangatlah “kejam”.
"Ini hari yang menyedihkan bagi pengadilan dan negara," Ucap Biden dalam pidatonya di Gedung Putih, AS pada Minggu (24/6)
Setelah tarik ulur panjang, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil langkah untuk membatalkan putusan pada Senin (25/6). Dalam pemungutan suara 6 lawan 3, pengadilan membatalkan kasus yang menjamin hak konstitusional aborsi bagi perempuan selama sekitar 50 tahun sejak disahkan pada 1973.
Bercermin dengan kejadian di Roe vs Wade, aturan aborsi menjadi sangat penting karena kaitannya dengan dukungan hak perempuan di suatu negara. Di berbagai belahan negara di dunia memiliki perbedaaan regulasi mengenai aturan aborsi. Lalu negara apa yang memiliki regulasi aborsi terbaik di dunia?
Status Hukum Aborsi di Berbagai Belahan Dunia
Banyak negara yang masih memperbolehkan pelaksanaan praktik aborsi dengan beberapa syarat dan kondisi. Kebanyakan, aborsi diperbolehkan jika kondisi sang ibu dalam keadaan terancam. Data Center for Reproductive Right menjelaskan, terdapat empat pola besar kebijakan aborsi di berbagai negara di dunia:
Pertama, To Save a Woman’s Life, mendukung aborsi atas perlindungan nyawa perempuan. Hukum negara-negara dalam kategori ini mengizinkan aborsi ketika nyawa wanita itu terancam. 42 negara termasuk dalam kategori ini dan 360 juta (22 persen) wanita usia subur tinggal di negara ini. Contoh negara yang menerapkan kebijakan aborsi dengan pola ini adalah Indonesia, Iran, Irak, Brunei Darussalam, Myanmar, Brasil, Kenya, Irlandia, dan Uni Emirat Arab.
Kedua, To Preserve Health, atau melarang aborsi kecuali atas dasar kesehatan atau alasan terapeutik. 225 juta (14 persen) wanita usia reproduksi tinggal di negara ini. Negara seperti Israel, Argentina, Jamaika, Kolombia, Liechtenstein, dan Pakistan menerapkan aturan aborsi dengan metode ini.
Ketiga, Broad Social or Economic Grounds, membebaskan aborsi tetapi dengan persyaratan tertentu. Negara-negara ini sering mempertimbangkan lingkungan aktual atau yang dapat diperkirakan secara wajar dan keadaan sosial atau ekonomi seorang wanita dalam mempertimbangkan dampak potensial dari kehamilan dan melahirkan anak. Terdapat 386 juta (23%) wanita usia reproduksi tinggal di negara dengan aturan aborsi dengan pola ini. Contoh negara dengan regulasi pola ketiga yakni Ethiopia, Fiji, Barbados, India, dan Jepang.
Keempat, On Request (Gestational Limits Vary), membebaskan perempuan terlepas apapun alasannya. Tercatat 601 juta (36 persen) wanita usia subur tinggal di negara yang mengizinkan aborsi dengan pola ini. Negara tersebut diantaranya Singapura, Kroasia, Makedonia, dan Montenegro. Pada pola ini, batas kehamilan paling umum untuk negara-negara dalam kategori ini adalah 12 minggu. Batas kehamilan dihitung dari hari pertama periode menstruasi terakhir, yang dianggap terjadi dua minggu sebelum pembuahan. Dimana undang-undang menentukan bahwa batas usia kehamilan dihitung dari tanggal pembuahan, batas ini telah diperpanjang dua minggu.
Berdasarkan beberapa pilihan kebijakan di atas, pola keempat merupakan regulasi yang paling banyak digunakan. Setidaknya, terdapat 72 negara secara global termasuk dalam kategori ini. Terbukti dalam laporan WHO, negara-negara yang menerapkan kebijakan aborsi dengan pola keempat sukses melindungi perempuan dari Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Dari berbagai opsi, pilihan keempat dinilai dapat mengedepankan perlindungan terhadap perempuan. Sebab, keterbatasan aturan negara memberikan akses aborsi aman bagi perempuan kian mendorong maraknya praktik aborsi ilegal hingga berujung kematian.
Dampak ketiadaan akses “aborsi aman”
Meski tidak ada data pasti, data The Lancet Global Health menunjukkan perkiraan regional dan global dari distribusi penyebab kematian. Hampir 73 persen dari semua kematian ibu antara tahun 2003 dan 2009 adalah karena penyebab obstetri langsung sedangkan kematian karena penyebab tidak langsung menyumbang 27,5 persen.
Perdarahan adalah penyebab langsung utama kematian ibu di seluruh dunia, mewakili 27,1 persen kematian ibu. Lebih dari dua pertiga kematian akibat perdarahan yang dilaporkan diklasifikasikan sebagai perdarahan postpartum. Hipertensi adalah penyebab langsung paling umum kedua di seluruh dunia 14,0 persen. Kematian ibu akibat sepsis adalah 10,7%. Penyebab langsung lainnya menyumbang 12,8 dan aborsi menyumbang 7,9 persen penyebab kematian ibu di dunia.
Dalam data lainnya, WHO menyebut sekitar 73 juta aborsi terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Setidaknya, 4,7-13,2 persen kematian ibu disebabkan oleh aborsi ilegal. Lebih lanjut, WHO mengatakan kurangnya akses ke perawatan aborsi yang aman, terjangkau, tepat waktu dan terhormat, dan stigma terkait dengan aborsi, menimbulkan risiko bagi kesejahteraan fisik dan mental perempuan sepanjang perjalanan hidup.
Tidak dapat diaksesnya perawatan aborsi yang berkualitas berisiko melanggar berbagai hak asasi perempuan dan anak perempuan, termasuk hak untuk hidup, hak atas standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai, memperoleh manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan realisasinya, hak memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah, jarak dan waktu anak, bebas dari penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Maka dari itu, perlu adanya regulasi yang tepat bagi hukum aborsi untuk melindungi hak perempuan di dunia. Lalu kebijakan seperti apa yang dapat diterapkan di Indonesia?
Saran bagi pembuat kebijakan
Hingga tulisan ini diterbitkan, hukum aborsi di Indonesia masih merupakan perbuatan kriminal. Melihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, 346,347, dan 348 yang mengatur hukuman bukan hanya bagi pelaku aborsi, tetapi juga berlaku bagi para pihak yang terbukti terlibat dalam tindakan aborsi, termasuk dokter, perawat, dan bidan. Hukuman penjara tindak aborsi tidak berlaku untuk para korban pelecehan seksual termasuk dengan petugas medis yang membantu.
Sementara itu, UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan mengizinkan tindakan aborsi apabila terdapat indikasi kedaruratan medis, atau korban perkosaan.
Hingga yang terbaru kini draft Rancangan Undan-Undang (RUU) KUHP pada Rabu (6/7) kini mengatur aborsi atau pengguguran kandungan terhadap korban pemerkosaan dan petugas medis yang membantu tidak dipidana. Tercantum dalam pasal 467 ayat (2) dengan syarat batas usia kandungan 12 minggu.
Meski demikian, perubahan peraturan ini masih belum bisa disahkan dengan segera. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU Komnas Perempuan) mendokumentasikan 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi selama 2016-2020. 7.344 kasus diantaranya merupakan kasus perkosaan atau 29,6 persen dari total kasus kekerasan seksual. Di antara kasus perkosaan tersebut, ada korban yang kemudian melakukan aborsi ilegal.
Komnas Perempuan berharap bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Kementerian Kesehatan (Menkes), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP & PA) untuk mempercepat pembahasan RUU KUHP dan segera melatih para tenaga medis untuk pelayanan aborsi aman demi menjamin para perempuan korban perkosaan dapat menggunakan aborsi aman dan tidak dikriminalisasi. Para media dan masyarakat luas turut serta untuk mengawal dan memastikan kebijakan ini demi menghapus stigma para perempuan korban perkosaan.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya