Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Komisi III DPR pada Rabu (6/7). Wakil Menkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan telah melakukan banyak penyempurnaan pada rancangan tersebut.
Perjalanan panjang RUU KUHP sudah melalui proses panjang bahkan memakan waktu hingga 58 tahun lamanya, sejak 1946 silam. Beberapa pakar hukum yang turut serta melakukan rekodifikasi sudah meninggal dunia.
Polemik ini telah menjadi debat panjang yang tak kunjung berakhir. Pasalnya, penyusunan RUU KUHP tidak dilakukan dilakukan dari nol. Pemerintah lebih memilih sistem rekodifikasi atau menyatukan pengaturan-pengaturan menjadi satu. Hal tersebut bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Sejak kemerdekaan, KUHP merupakan warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie) telah berkembang secara masif.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD melalui rilis Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menilai, pangkal persoalan tersebut mengerucut kepada dua hal utama. Pertama, latar belakang kemajemukan bangsa Indonesia ditambah lagi dengan konsep rekodifikasi KUHP. Kedua, perdebatan tersebut berasal datang dari kelompok Universalisme dan Partikularisme.
“Kalau pelan-pelan lebih dari 50 tahun untuk bicara hukum, itu terlalu berlebihan. Mari kita segera cari resultante baru. Toh, ada instrumen hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) dan legislative review, yakin tidak ada 100 persen orang setuju, kita cari yang terbaik. Ini menyangkut hal yang fundamental, ini harus segera disikapi secara legislasi,” sebut Menko Polhukam pada Senin (14/6/2021).
Di sisi lain, masyarakat berharap sejumlah aturan pidana dalam hukum RUKUHP dibuat dengan gagasan pasal-pasal kontroversial, yakni diantaranya:
1. Kebebasan berpendapat
Tiap orang (wartawan atau warganet) yang menyerang menghina presiden dan pemerintah di muka umum berakibat penjara selama tiga tahun enam bulan. Ketetapan ini terletak dalam pasal 218, 219, 220, 241, 247, 262, 263, 305, 354, 440, 444.
Terkhusus dalam pasal 218 atas penghinaan presiden dan wakil presiden (Wapres) pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dengan alasan warisan kolonial dan melanggar kesetaraan di muka hukum. Selain itu, pasal penghinaan presiden-wapres bakal menimbulkan konflik kepentingan.
2. Korupsi
Pelaku korupsi bisa dipenjara hanya dua tahun, lebih singkat empat tahun dari KUHP terkini. Secara lebih rinci dalam pasal 604 berbunyi, Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperjaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana seumum hidup atau pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit kategori II (Rp10 juta) dan paling banyak kategori IV.
3. Penistaan agama
Tertuang dalam pasal 313, pengaturan mengenai tiap orang yang melakukan penodaan atau penistaan terhadap agama akan dipenjara selama lima tahun. Berlaku juga bagi orang yang menyiarkan, menunjukan, menempelkan tulisan, gambar, atau rekaman, serta menyebarluaskannya melalui kanal elektronik.
4. Santet
Pasal 252 berbunyi, setiap orang yang mengaku punya kekuatan gaib dan menawarkan jasa kepada orang lain untuk menyakiti mental/fisik atau membunuh orang lain dapat dipenjara tiga tahun atau denda Rp200 juta.
5. Alat kontrasepsi
Pasal 414 mengatur pidana bagi setiap orang yang terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya kepada anak akan didenda Rp1 juta.
6. Berzinah
Pasal 417 ayat 1 mengatakan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya bisa dipenjara satu tahun atau denda sebanyak Rp10 juta.
7. Aborsi
Pasal 251, 470, 471, dan 472 Tindakan aborsi bisa dihukum penjara, kecuali korban perkosaan. Berlaku juga bagi petugas medis yang membantu aborsi korban perkosaan tidak dipidana.
8. Hidup bersama tanpa nikah
Pasal 419 Ayat 1 berbunyi, setiap orang yang hidup bersama layaknya suami-istri di luar perkawinan atau akrab disebut dengan "kumpul kebo" dapat dipenjara enam bulan atau denda Rp10 juta.
9. Bergelandang
(Pasal 432) Wanita pekerja yang pulang malam hari dan terlunta-lunta hingga dianggap gelandangan dikenai denda Rp1 juta.
10. Unggas peliharaan
(Pasal 278) Membiarkan unggas ternak berkeliaran di kebun/lahan tanaman orang lain mendapat denda Rp10 juta.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya