El-Nino merupakan sebuah fenomena alam yang menyebabkan kondisi iklim menjadi abnormal di beberapa wilayah di dunia. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El-Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya.
Kondisi tersebut terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. Umumnya, pemanasan SML menyebabkan dampak yang berbeda-beda di tiap wilayah di berbagai belahan dunia. Dampaknya mencakup perubahan pola angin, kekeringan, peningkatan risiko cuaca ekstrem, peningkatan curah hujan, dan lainnya.
Di Indonesia, pemanasan SML meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik Tengah sehingga mengurangi curah hujan. Dengan demikian, El-Nino juga bisa mengakibatkan kekeringan akibat kemarau panjang di Indonesia.
Bahkan menurut Food and Agriculture Organization (FAO), El-Nino mampu mempengaruhi siklus panen akibat kondisi cuaca yang abnormal. Sehingga, hal ini perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dunia.
Selain itu, FAO juga memperkirakan adanya potensi kekeringan pada 42 negara di dunia. Rinciannya, wilayah Amerika Selatan memiliki 14 negara yang berisiko mengalami kekeringan akibat El-Nino. Sementara, kekeringan di kawasan Afrika berpotensi melanda 13 negara. Diikuti oleh kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Tengah dengan masing-masing berjumlah 12 negara dan 3 negara yang berpotensi mengalami kekeringan akibat El-Nino.
Lebih lanjut, FAO dalam laporannya juga telah memberikan tindakan antisipatif yang harus diikuti oleh negara-negara yang berisiko terkena dampak El-Nino, di mana ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama.
Sebagai langkah antisipasi untuk wilayah-wilayah yang berpotensi tinggi mengalami kekeringan, FAO merekomendasikan beberapa aksi yang harus dilakukan, mulai dari rehabilitasi infrastruktur dan saluran air, menedukasi masyarakat mengenai teknik pemanenan air, hingga membuat program dukungan bagi petani untuk meminimalisir kerugian panen.
Tantangan Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Adapun, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 diproyeksikan hanya mencapai 2,1%. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani. Ia menyebut bahwa kondisi ini jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4,3%.
Mengutip laman resmi BMKG, Sri Mulyani membeberkan bahwa hal ini dipengaruhi oleh inflasi yang melonjak akibat kurangnya pasokan kebutuhan yang memadai dan menurunnya minat beli masyarakat.
Sementara menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Abdul Majid, inflasi pangan dan multikulturan sangat dipengaruhi oleh faktor musim. Upaya yang dilakukan oleh BI untuk mengantisipasi hal ini termasuk Program TPIP/TPID dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNIP) 2023, yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi secara struktural.
Berdasarkan hasil temuan International Monetary Fund (IMF), El-Nino cenderung memiliki dampak negatif bagi negara-negara yang mengandalkan produk domestik bruto (PDB) dari sektor primer, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.
IMF juga telah menganalisis sejumlah negara yang memiliki risiko paling besar. Hasilnya, Indonesia menjadi negara yang diproyeksi paling rawan. IMF mempresiksi bahwa fenomena El-Nino mampu menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga turun 0,35 poin persentase per kuartal.
Dengan estimasi El-Nino saat ini yang dikhawatirkan bakal memiliki dampak dan risiko yang lebih parah daripada sebelumnya, para analis memperkirakan fenomena ini akan memperpanjang periode inflasi di berbagai belahan bumi sejak pandemi Covid-19 lalu.
Ancaman Kemarau Panjang dan Karhutla
Jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tercatat semakin marak terjadi dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia. Kasus ini pun semakin diperparah oleh oleh fenomena El-Nino yang melanda tanah air, yang membuat musim kemarau menjadi lebih panjang dan curah hujan mengalami penurunan. Sehingga, titik panas semakin sulit dipadamkan dan membuat karhutla tak terelakkan.
Sejak Juni 2023, jumlah titik panas (hotspot) level tinggi di Indonesia mulai meningkat. Jumlahnya pun mencetak rekor sebanyak 1.274 titik panas pada September lalu, Data tersebut bersumber dari hasil temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Di sisi lain, sudah ada sebanyak 169 titik panas level tinggi yang muncul per 3 Oktober 2023. Mirisnya, angka ini dilaporkan telah melampaui rekor sepanjang bulan Juli 2023 yang hanya sebanyak 88 titik panas.
Untuk mengantisipasi dan memitigasi potensi karhutla pada 2023, pemerintah mengadakan Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) Pengendalian Karhutla 2023. Merespons ini, Menteri Siti beranggapan bahwa sinergi antarlembaga dan kementerian sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi ancaman karhutla.
Selain itu, pemerintah Indonesia dikabarkan juga telah menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk mencegah karhutla pada 2023. Penerapan teknologi ini dulu dikenal sebagai teknologi hujan buatan, yang menjadi bagian dari upaya pencegahan karhutla dengan cara pembasahan gambut. Metode ini dianggap efektif saat menangani karhutla pada tahun 2020.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Editor