Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, berencana mengonversi 20 juta hektare hutan menjadi sumber cadangan pangan, energi, dan air untuk mendukung swasembada pangan dalam Astacita Presiden Prabowo.
"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," kata Raja Juli di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/12), dikutip dari CNN Indonesia.
Rencananya, lahan tersebut akan dimanfaatkan untuk budidaya padi gogo, yaitu padi yang dapat tumbuh di lahan kering, dengan target produksi mencapai 3,5 juta ton beras per tahun. Jumlah ini setara dengan total impor beras pada tahun 2023 sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan beras nasional.
"Bibit-bibit terakhir yang ditemukan di Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman) itu bisa memproduksi 3,5 ton per hektare. Artinya apa? Kalau kita tanam 1 juta hektare, bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, maka kita tidak perlu impor lagi," katanya di Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/1), dikutip dari Antara.
Selain itu, lahan tersebut juga direncanakan untuk ditanami pohon aren sebagai bahan baku bioetanol. Produksi bioetanol ditargetkan mencapai 26 juta kiloliter, atau setara dengan jumlah impor BBM.
"Satu hektare aren mampu menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta hektare aren, kita bisa menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol yang dapat menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter," tambahnya.
Dalam agenda ini, Kementerian Kehutanan bertindak sebagai penyedia lahan. Tugas utama swasembada pangan dan energi tetap dilimpahkan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM.
20 Juta Hektare: Setara 2 Kali Hutan Primer yang Hilang dalam 23 Tahun
Pada tahun 2001, hutan primer yang dimiliki Indonesia berjumlah 136 juta hektar. Hutan primer ini terbentang menutupi 83% luas tanah Indonesia. Pada tahun 2023, hutan primer yang tersisa tinggal 88,8% dari jumlah awal.
Global Forest Watch (GFW) mencatat bahwa Indonesia telah kehilangan 10,5 juta hektare hutan primer selama tahun 2001–2023, atau setara dengan kehilangan 1 lapangan sepak bola per menit selama 23 tahun. Jumlah hutan primer yang hilang selama 23 tahun ini baru separuh dari angka pembukaan lahan yang diusulkan oleh Menhut, yaitu 20 juta hektar.
Jumlah hutan primer yang hilang menyumbang 35% dari total kehilangan tutupan pohon yang ada di Indonesia. Tutupan pohon merupakan area yang ditutupi oleh vegetasi dengan tinggi lebih dari 5 meter dan letaknya tersebar di luar hutan primer. Pada tahun 2023, jumlah tutupan pohon telah menurun sebanyak 19% dari tahun 2000 dengan perkiraan emisi sebesar 22,2 giga ton CO2e.
Pada periode 2001–2023, Indonesia telah kehilangan 30,8 juta hektare tutupan pohon, 85% diakibatkan oleh deforestasi yang didorong oleh ekspansi komoditas tertentu. Dengan jumlah tersebut, Indonesia menjadi negara ke-5 dengan luas kehilangan tutupan pohon terbesar selama periode tersebut. Tentunya jumlah ini akan menjadi lebih besar apabila Menhut merencanakan 20 juta hektare tambahan untuk konversi pangan dan energi.
Tuai Kritik dan Keprihatinan
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Arta Siagian, menyebut bahwa pernyataan ini tidak semestinya dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan seharusnya melindungi, bukan merencanakan pembongkaran hutan.
“Kementerian Kehutanan itu seyogyanya wali dari hutan-hutan kita. Sebagai wali, harusnya kementerian inilah yang paling depan menghadang rencana pembongkaran hutan, bukan justru merencanakan pembongkaran hutan dan melegitimasinya atas nama pangan dan energi. Artinya Presiden dan Menteri Kehutanan tidak memahami tugas dan tanggung jawab mereka,” ujarnya, dikutip dari situs resmi WALHI.
Uli juga menganggap bahwa proyek pangan dan energi hanya menjadi proyek legalisasi deforestasi semata. Tentunya kegiatan ini akan berisiko menyebabkan bencana ekologis, dengan keselamatan masyarakat dipertaruhkan. Masyarakat sekitar kawasan hutan juga berisiko mengalami kriminalisasi, kekerasan, dan konflik agraria akibat operasi penggusuran untuk proyek ini.
“Narasi pemerintah untuk memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi, dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas," tambah Uli.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI juga menyampaikan kritik atas pernyataan Menhut ini melalui situs resminya. DPD RI mengungkapkan bahwa pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Menteri Kehutanan terhadap isu-isu mendasar terkait ekologi. Pernyataan tersebut juga menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk membuat kebijakan yang memprioritaskan kepentingan pengusaha besar dan investasi besar daripada kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
DPD RI menuntut Presiden Prabowo untuk menghentikan wacana konversi 20 juta hektare hutan ini supaya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang menjadi komitmen Prabowo. Pemerintah perlu mengutamakan suara masyarakat lokal dan tidak mengorbankan lingkungan demi keuntungan sekelompok elit kecil.
Baca Juga: Getah Food Estate, Botaknya Jutaan Hutan Indonesia
Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor