Hasil observasi yang dilakukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan, hampir 50% anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga SD.
JPPI menyebutkan, beberapa isu utama yang mendorong faktor putus sekolah di daerah 3T, di antaranya adalah jumlah sekolah yang tidak memadai, kualitas sekolah buruk, jarak dan medan menuju ke sekolah sulit diakses, serta ketidakmampuan keluarga membiayai pendidikan.
Alasan lainnya adalah tingginya tren pekerja anak dan pernikahan dini, serta rendahnya kesadaran pentingnya sekolah.
“Kalo musim panen ya semuanya bareng panen, kalo musim menangkap ikan ya mereka akan nangkep ikan. Itu jauh lebih penting, ketahanan ekonomi keluarga itu lebih dipertimbangkan daripada sekolah ini manfaatnya apa,” tutur Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi X DPR RI (5/5).
Cara pandang patriarki juga masih sangat mendominasi, sehingga angka pernikahan dini masih sangat tinggi. Di daerah-daerah tersebut, anak yang sekolah dinilai akan memiliki masa depan yang sama dengan yang tidak sekolah, sehingga masyarakat tidak menemukan urgensi dari sekolah.
Hal-hal ini juga disampaikan oleh Kuanta Indonesia dalam RDPU tersebut. Beberapa masalah yang menghambat pendidikan di daerah 3T adalah kurangnya dukungan orang tua, budaya masyarakat yang cenderung kurang baik, serta infrastruktur dan akses menuju sekolah yang kurang memadai.
Persoalan lainnya, yaitu rendahnya figur pemimpin pelaku perubahan di daerah, rendahnya kompetensi dan etos guru, keterbatasan jumlah guru, serta tata kelola standar nasional pendidikan yang belum optimal.
Perlu Penyesuaian Sistem Pendidikan dengan Situasi di Daerah
Ubaid menambahkan, kualitas sekolah di daerah kurang optimal karena tenaga pendidik yang dikerahkan pun belum memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam pantauan JPPI, 60% guru di daerah merupakan honorer. Banyak pula guru yang hanya lulusan SMA dan sangat jarang yang mendapat pelatihan pengembangan.
Dengan begitu, kurikulum nasional tidak dapat disampaikan dengan baik dengan kompetensi tenaga pendidik yang kurang optimal. Kurikulum nasional juga dinilai tidak memiliki relevansi.
“Kemudian, kurikulum nasional yang diajarkan oleh guru-guru yang tadi diceritakan teman-teman Kuanta, guru tidak mampu mengkontektualisasikan. Entah itu kurikulum merdeka atau guru penggerak. Tetapi ini kan butuh jembatan antara yang dipikirkan kurikulum nasional oleh orang-orang Jakarta, diterjemahkan ke orang-orang Papua, orang-orang Lombok,” tambah Ubaid.
Adanya kurikulum nasional hanya menjadi pegangan di awal, akan tetapi, implementasi di lapangan merupakan improvisasi guru. Dengan demikian, peran kurikulum nasional ini belum efektif.
Melihat situasi di lapangan, JPPI mengadakan sekolah Paket A dan Paket B untuk mengejar ketertinggalan. Upaya ini dinilai lebih efektif karena tidak membutuhkan perangkat yang lebih kompleks seperti membangun sekolah.
Selain itu, sejumlah sekolah juga didirikan dengan menyesuaikan lingkungan. Misalnya, di sekitar taman nasional berbentuk hutan, sekolah lebih fokus pada lingkungan, tanah adat, dan sebagainya.
Mendengar laporan pemantauan pendidikan tersebut, anggota Komisi X DPR RI Iqbal Ramzi menyebut pandangan tersebut menjadi penentu perumusan regulasi.
“Karena itu mengetahui kondisi 3T, menjadi penting bagi kita untuk merumuskan kebijakan yang nanti bisa diimplementasikan di daerah tersebut,” respons Anggota Komisi X DPR RI, Iqbal Ramzi.
Selain itu, kontribusi kepala daerah juga memegang peranan penting. Kebijakan pusat tidak akan optimal jika tidak ada penggerak di daerah.
Kemudian, anggota Komisi X DPR RI Mercy Barends juga memberikan usulan terkait pendidikan dengan menyesuaikan lingkungan dan budaya.
“Bolehkah kita usulkan misalnya, dalam kondisi-kondisi di daerah terluar seperti begini, pendidikannya dibikin sesuai dengan lokalita yang ada di wilayah di sana. Habis panen teripang segala macam, misalnya, sekolah baru mulai jam 5 (sore) ke atas,” usul Mercy.
Anggota Komisi X DPR RI M. Nur Purnamasidi juga menanggapi bahwa ada masalah kelembagaan dalam isu pendidikan ini. Dengan skema sektoral dan bukan lagi berpusat di Bappenas, banyak program lembaga yang tumpang tindih.
Apalagi menurutnya, para pemimpin di masing-masing lembaga berasal dari partai politik berbeda dan cenderung menyiapkan diri untuk pemilihan berikutnya.
Oleh karena itu, Revisi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang sedang disiapkan, perlu memuat aturan mengenai pengelolaan antarlembaga ini.
Baca Juga: Tingkat Pendidikan Tertinggi Masyarakat RI 30 Tahun Terakhir
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor