Dalam konteks proses demokrasi, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi fondasi penting untuk memastikan pelaksanaan pemilihan umum yang adil dan demokratis. Netralitas ASN menjadi salah satu penentu integritas proses politik, di mana kehadiran mereka seharusnya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politis atau pribadi.
Meskipun peran ASN dalam memastikan kelancaran pemilihan sangat krusial, terdapat risiko bahwa sebagian ASN mungkin tidak dapat mempertahankan netralitas mereka dengan baik.
Fenomena ini menciptakan tantangan serius terhadap integritas pemilu, meresahkan masyarakat terkait kemungkinan pengaruh dari pihak yang seharusnya bersifat netral.
Pentingnya netralitas ASN dalam pemilihan umum tidak bisa dipandang sebelah mata. ASN memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam arena politik, memastikan bahwa keputusan dan tindakan mereka tidak dipengaruhi oleh preferensi politik tertentu.
Namun, terdapat kompleksitas dalam menjaga netralitas ASN. Faktor-faktor seperti afiliasi politik, tekanan dari berbagai pihak, dan godaan untuk mendukung pasangan calon tertentu bisa menjadi tantangan nyata bagi sebagian ASN.
Pilkada tahun 2020 dan Pemilu tahun 2024 menjadi dua titik fokus kritis yang mencerminkan dinamika netralitas ASN dalam konteks pemilihan umum. Dalam rentang waktu tersebut, perbandingan mencolok terjadi pada laporan pelanggaran netralitas ASN.
Data perbandingan yang diperoleh dari catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) ini menciptakan naratif yang menggambarkan evolusi dan tantangan dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Pada Pilkada serentak 2020, data laporan pelanggaran netralitas ASN mencapai angka tinggi sebanyak 2.034 kasus. Data tersebut menunjukkan kompleksitas tantangan menjaga netralitas ASN dalam konteks pemilihan umum.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.597 ASN atau 78,5% diantaranya terbukti bersalah atas pelanggaran tersebut. Hal ini menciptakan kekhawatiran akan integritas proses demokrasi. Pemberian sanksi disiplin juga berlangsung intensif, di mana 90,8% atau 1.450 ASN telah menerima sanksi sebagai konsekuensi dari pelanggaran yang terbukti.
Sementara itu, dalam pemilu 2024, terjadi penurunan yang sangat signifikan pada jumlah laporan pelanggaran netralitas ASN. Berdasarkan catatan KASN, total laporan mengenai pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2024 sebanyak 403 kasus.
Angka ini merupakan angka yang sangat rendah jika dibandingkan dengan pelanggaran pada Pilkada 2020. Meskipun jumlahnya lebih rendah dibandingkan Pilkada 2020, kekhawatiran muncul ketika 45,4% atau 183 ASN terbukti melakukan pelanggaran netralitas.
Walau demikian, sebanyak 53% atau 97 ASN telah dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK). Meskipun penurunan laporan menunjukkan respons positif terhadap permasalahan sebelumnya, perbandingan antara ASN terbukti bersalah dan sanksi yang dijatuhkan masih menjadi perhatian utama.
Tasdik, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), mengungkapkan keheranannya terkait ketidakproporsionalan antara tingkat pelanggaran yang semakin nekat dan jumlah laporan yang lebih rendah. Terdapat berbagai bentuk pelanggaran netralitas ASN selama persiapan Pemilu 2024 mendatang.
Pelanggaran netralitas ASN dapat termanifestasi melalui rekayasa regulasi, di mana perubahan-perubahan dalam peraturan atau kebijakan dapat dimanipulasi untuk memberikan keuntungan tertentu kepada pasangan calon tertentu. ASN yang terlibat dalam proses perubahan regulasi ini dapat menjadi alat yang mempengaruhi jalannya pemilihan, melanggar prinsip netralitas yang seharusnya mereka pegang.
Mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) oleh ASN dapat menjadi bentuk pelanggaran netralitas yang signifikan. Terlibatnya ASN dalam menggerakkan atau memobilisasi sumber daya manusia untuk mendukung pasangan calon tertentu menciptakan ketidakseimbangan dan dapat merusak keseimbangan kompetisi yang seharusnya adil dan netral.
Pelanggaran netralitas juga dapat terjadi melalui alokasi dukungan anggaran yang tidak adil atau tidak merata. Jika ASN terlibat dalam memberikan dukungan anggaran yang lebih besar kepada satu pasangan calon daripada yang lain, hal ini dapat membiasakan proses pemilihan dan merugikan integritas demokrasi.
Keterlibatan ASN dalam memberikan bantuan program, terutama yang berkaitan dengan kebijakan sosial atau ekonomi, bisa menjadi bentuk pelanggaran netralitas. Jika bantuan program ini diberikan secara selektif untuk mendukung kepentingan politis tertentu, hal tersebut dapat menciptakan ketidaksetaraan di antara pasangan calon.
Pemanfaatan fasilitas dan prasarana oleh ASN untuk kepentingan politis dapat menjadi bentuk pelanggaran netralitas yang nyata. Penggunaan fasilitas pemerintahan untuk kepentingan kampanye tertentu dapat menciptakan ketidaksetaraan akses dan merusak integritas pemilihan.
Bentuk dukungan lainnya, seperti endorsement atau partisipasi aktif dalam kampanye, juga dapat menjadi sumber pelanggaran netralitas. Jika ASN secara terbuka memberikan dukungan kepada satu pasangan calon tanpa mempertimbangkan netralitas, hal ini dapat menggerus kepercayaan publik terhadap integritas pemilihan.
Oleh karena itu, dalam melangkah menuju pemilihan umum yang lebih bersih dan adil, perlu adanya pemahaman mendalam terhadap dinamika yang mempengaruhi netralitas ASN. Evaluasi terus-menerus terhadap regulasi, pelatihan ASN, dan peningkatan mekanisme pengawasan menjadi langkah-langkah yang krusial.
Dengan pendekatan holistik ini diharapkan dapat memastikan bahwa ASN benar-benar menjalankan peran mereka sebagai pilar keberlanjutan demokrasi, tanpa adanya intervensi yang dapat merusak integritas proses pemilihan umum.
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Iip M Aditiya